Misi Membujuk Hidan

338 83 206
                                    

Seorang gadis berambut lurus berdiri di depan kios buah sambil memegang dagu. Terlihat seragam putih abu-abu yang dikenakan sudah kusut karena berlari mengejar angkot bersama kedua orang sahabatnya saat keluar gang sekolah.

Dia mengangguk pelan, meraih sebuah jeruk dan mengangkat sambil memicingkan mata, seperti menerawang uang kertas. "Beli berapa jadinya?" tanya si gadis lalu memukul orang yang ada di sebelahnya, tanpa mengalihkan pandangan.

“Kenapa tanya ke saya?”

Gadis itu pun menoleh, melihat seorang pria paruh baya dengan topi lusuh di kepala tanpa rambut tersebut. “Astaga! Alan berubah jadi tua dan gemuk!” pekiknya hingga membuat jeruk di tangan terlempar entah ke mana.

“Dek, saya yang jual buah di sini,” ujar sang pria paruh baya dengan mengelap peluh di dahi.

“Artha, ini gue. Baru beli minum tadi,” ucap pemuda bersurai cokelat gelap dari belakang gadis yang dipanggilnya.

Artha berbalik lalu kembali melihat sang penjual sambil menggaruk rambut lurus yang dikuncir satu. “Maaf udah bikin jeruk Bapak terlempar sampai ke ujung samudera,” ujarnya dengan sedikit membungkuk.

Ralan yang ada di belakang Artha menyatukan kedua tangan, menatap sang penjual dengan meringis pelan lalu menunjuk gadis di depannya, dan membuat telunjuk seolah mengiris dahi. “Agak enggak waras, Pak,” bisiknya dari kejauhan yang mendapatkan gelengan serta helaan napas dari sang lawan bicara.

"Dek, jadi beli enggak, nih?" tanya sang penjual sambil meraih kantung plastik putih yang tergantung di atas kepalanya.

Artha kembali berdiri tegak, cengengesan sebentar lalu mengambil beberapa jeruk, dan meletakkan ke atas timbangan yang berada tidak jauh dari tempat buah oranye itu diletakkan.

"Itu, Pak. Berapa?" kata Artha dan mengeluarkan dompet dari dalam tas.

Pria paruh baya pemilik kios pun memasukkan buah yang ada di timbangan ke dalam plastik. Terlihat berpikir sejenak, kemudian berujar, "Dua puluh lima ribu, Dek."

Artha terpatung. Dia segera melirik Ralan yang sibuk dengan ponsel pintar di tangan, kemudian berusaha menendang sedikit sepatu pemuda yang sudah berdiri di sisi kirinya itu agar menoleh.

"Apa?" tanya Ralan dengan mengernyit.

"Bagi duit. Ini kurang," bisik Artha.

"Sebentar." Ralan merogoh sakunya, meraba setiap sisi di dalam sana.

"Kenapa? Tipes lo?" tanya Artha panik. Bukan tanpa sebab, tetapi dia ketakutan karena melihat wajah si lawan bicara berubah pucat seperti orang sakit.

Ralan memegang pundak Artha lalu mendekatkan bibir ke arah telinga gadis tersebut, membisikkan sesuatu yang membuat mata bulat itu membola.

Artha mengepalkan tangan dan mendaratkan pukulan ke bahu Ralan sampai meringis kemudian menahan bogeman mungilnya.

"Ini mau sampe kapan di tangan saya, Dek. Kalo cuma mau main-main, sana ke lapangan aja, jangan di sini," keluh si penjual dengan alis bertautan dan kening berkerut.

Artha menggaruk tengkuk yang 'tak gatal, berusaha memutar otak kecilnya untuk berpikir keras. Oh, ayolah! Bagaimanapun dia harus membeli jeruk itu, tidak peduli dengan uang yang kurang, intinya si pemilik rambut lurus menginginkan buah oranye itu untuk dibawa pulang.

"Pak, saya mau tanya," ujar Artha sambil tersenyum manis.

"Tanya apa?" sahut pria paruh baya setelah menghela napas.

"Jeruk yang saya ambil tadi manis, 'kan?"

"Iya."

"Kalo asem gimana?" tanya Artha lagi.

My Absurd Best Friends [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang