45 || Kenyataan yang Menyakitkan

73.1K 14.2K 2.6K
                                    

Dara mengembuskan napas berat kala mendudukkan diri di kursi dekat meja makan. Terjadi lagi. Lagi-lagi dirinya dibandingkan dengan adiknya sendiri. Lagi-lagi juga dirinya disuruh mencontoh adiknya sendiri. Rasanya ingin membantah, karena di sini ia juga tidak salah sepenuhnya. Tapi entah kenapa melihat ibunya marah begitu, nyalinya langsung menciut.

Jadi, sama seperti hari-hari sebelumnya, Dara hanya bisa diam dan menelan semua bantahannya.

"Dara, air minum lo mana?"

Mengalihkan pandangannya ke sumber suara, Dara tersenyum tipis sembari menunjuk dispenser yang penuh dengan air minum. "Tuh. Kenapa?"

"Haus," jawab Revan singkat. Ia mengambil cangkir dari lemari kemudian mengisinya dengan air minum. Setelahnya, ia segera menuntaskan dahaga yang sedari tadi ditahan.

"Kalian ngapain ke sini?" tanya Dara lagi.

Menyelesaikan niatnya, Revan menaruh cangkir tersebut ke meja dan duduk di samping Dara. "Jelasin semuanya ke bonyok lo. Tuh Dio sama yang lain lagi klarif."

"Gak usah sampe gitu."

"Udah diem. Ini salah kita juga."

Dara mengangguk pelan. Hening sebentar, yang terdengar hanyalah suara dari depan. Suara berat Asep yang menjelaskan diikuti oleh Dio.

"Dibanding-bandingin emang gak enak, Ra. Gue paham."

Menatap lekat yang berbicara, Dara mengernyit bingung. "Lo juga...?"

"He'eh," Revan mendengkus sinis, "tiap hari."

Dara diam tidak membalas. Kini sepertinya ia tahu masalah Revan. Ia juga sadar bahwa mereka memiliki satu kesamaan. Yaitu selalu dituntut menjadi sempurna dengan cara dibandingkan dengan orang lain.

"Jadi, kita sama?"

Revan menggelengkan kepalanya. "Beda. Lo punya kelebihan buat ditunjukkin. Sedangkan gue gak punya apa-apa."

"Apa, sih," gerutu Dara tidak terima. "Jangan gitu dong. Lo tuh banyak kelebihannya, tapi belum sadar aja."

Terkekeh pelan, ia mendadak gemas dengan perkataan si ketua kelas. "Iya-iya, sama. Kita berdua sama, bedanya lo dibandingin sama adek lo. Sedangkan gue sama orang yang lebih tua dari gue."

"Abang?"

"Iya," jawab Revan pelan. "Abang. Dulunya, sih."

Merasa iba, Dara kini mengerti apa yang dialami oleh cowok yang selalu menyembunyikan fakta dibalik buku putihnya.

"Gue gak paham. Tujuan dibanding-bandingin itu apa, sih? Maksudnya, semua orang kan punya keistimewaannya masing-masing. Setiap orang beda, bahkan anak kembar sekalipun. Pada punya porsi masing-masing. Terus kenapa kita selalu dituntut buat jadi kayak orang lain?" ungkapnya mencurahkan pikirannya.

Ia mengembuskan napas berat. "Gue tau semua orang tua mau yang terbaik untuk anaknya. Tapi bukan kayak gini caranya," tambahnya mengingat semua perkataan ibunya tentang dirinya.

"Kalo gue ambil sisi positifnya aja, sih."

"Hah? Gimana?"

"Gue mager ngomong sial," gerutu Revan pelan. Masalahnya, yang harus ia jelaskan ini terbilang lumayan panjang. Energinya bisa cepat terkuras.

Dara berdecak kesal lalu menggerakkan lengan cowok itu. "Kasih tau. Otak gue lagi gak konsen. Gak bisa ambil hikmah apapun."

Oke, walaupun malas, Revan berusaha memberikan penjelasan. "Gini," ia memperbaiki posisinya dengan menghadap ke Dara sepenuhnya. "Ada yang pernah bilang sama gue. Tujuan orang tua banding-bandingin kita sama orang lain itu sebenernya baik. Logika aja, nyokap lo pernah gak bandingin lo sama orang yang buruk? Pasti orang itu memang lebih baik dari kita. Sampe sini paham gak?" terangnya dengan bahasa semampunya.

utopia (segera terbit)Where stories live. Discover now