60 || Akhirnya

67.9K 12K 3.6K
                                    

Seperti biasa, saat urusan Kevin sudah selesai, Dara memutuskan untuk mengumpulkan para temannya di Tiny Cafe. Bagaimanapun ia masih tidak rela jika Pak Tegar pergi begitu saja. Memang benar kata Andra tempo lalu, wali kelas seperti Pak Tegar sangat jarang ada.

"Jadi, gimana?"

"Apanya, Ra?"

"Di, gak mau udahan?"

"Belom satu jam pas, Ra," sahut Ersya setelah melihat timer di ponselnya.

Dara menghela napas pelan sembari menyentuh kepalanya yang mendadak pening. Ada saja tingkah mereka. Seperti saat ini, Dara sangat menyesal datang terlambat. Karena ketika sampai di sana, ia sudah melihat Ardi dan Revan berdiri dengan kedua tangan sembari bersandar pada dinding. Mereka kalah dalam permainan suit, kata Asep ketika Dara mengerjap bingung di ambang pintu.

Masa hukuman Revan sudah habis, tinggallah Ardi di sana menahan beban tubuhnya dengan kedua tangan. Ah, jangan lupakan manusia jahil seperti Andra, Farzan, Alfa, dan juga Ersya masih ada di sana. Mana mau mereka menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Terutama Ersya yang sejak dahulu selalu menjadi bahan jahil Ardi.

"CELANA GUE JANGAN DIBUKA, ANJIR. TOLONGLAH MANUSIAWI DIKIT, YA ALLAH ARDI GAK SANGGUP LAGI."

"BAJU GUE, BAJU GUE, BAJU GUE. ANJIR JANGAN DIBUKA BEGO, CACA ASU."

"GUE KAYAK DISIKSA PEDOPILIA, ANJING."

"Berisik," ucap Dio ikut menyiksa secara tidak langsung.

"GUE DILECEHKAN BEGINI GIMANA KAGAK BERISIK ANJIR."

"Lecehkan pala lo," sahut Alfa sewot.

Dara memejamkan kedua mata sembari kembali menghela napas. Kenapa dirinya masih tidak bisa terbiasa? Karena lelah mendengarnya, Dara kembali bertanya pada Ersya, "Berapa menit lagi emang, Sya?"

"30 detik, Ra," jawab Ersya. "Eh, 25, 24, 23, 22, 21, 20, 19, 18, 17, 16, 15, 14, 14, 14---"

"YANG BENER ANJIR CACA."

"Bentar ulang."

"ASU."

"9, 8, 7, 6, 5, 4, 3, 2, 2 setengah, 2 lagi, 2 terus—"

"Bodo amat goblok."

Yang lain lantas tergelak kala Ardi menyelesaikan hukumannya. Sembari melakukan peregangan kecil ia kembali duduk di kursinya. Gangguan-gangguan tadi membuat tangannya semakin pegal.

"Jadi, gimana?"

"Stuck kita, Ra. Gak ada ide," balas Asep memulai diskusi. "Kita juga gak bisa maksa Pak Tegar. Kalo udah nyangkut soal ibu beliau, kita gak bisa apa-apa."

"Tujuan kita biar Pak Tegar gak jadi resign atau biar ibu beliau bisa operasi?"

"Kalo ibu beliau udah bisa operasi, otomatis Pak Tegar gak jadi resign," jawab Dara. "Itu juga kalo emang alasan Pak Tegar resign karena fokus sama pengobatan ibunya beliau."

"Gue kagak paham dah. Katanya Pak Tegar lagi masa pengawasan. Emang salah Pak Tegar apaan?" tanya Ardi heran sembari kesal karena merasa tahu siapa pelakunya.

Dara menggeleng lesu. "Pak Tegar sebaik itu padahal..., tapi kenapa ada yang jahatin...."

Mereka semua turut bersedih. Mungkin merasa miris. Di saat seperti ini mereka lebih sering menyalahkan diri sendiri. Pak Tegar mungkin tidak akan dibenci kalau saja beliau bukan wali kelas dari IPS 5. Akar masalahnya di mereka. Lagi-lagi.

"Sya, Jena mana?"

"Sibuk sama tugas dia."

"Jadi kafe tutup lagi hari ini?"

utopia (segera terbit)Where stories live. Discover now