24 || Pengurus Kelas

83.3K 15.7K 1.2K
                                    

janlup voments guys.










"Bapak ke sini bukan buat belajar kok, Di. Itu muka santai aja."

Ardi yang tadinya sudah sangat lemas karena Pak Tegar datang dan mengganggu acara main mereka hanya bisa mencibir pelan wali kelasnya itu.

"Tadi Bapak ke kelas sebelah, trus ketemu sama sekretaris-nya," ungkap Pak Tegar. "Nah, tiba-tiba Bapak teringat sama kelas Bapak yang tercinta dan tersayang ini."

Oke, feeling mereka tidak enak.

"Sekarang, kita bakal nentuin pengurus kelas. Gak usah muluk-muluk. Ketua kelas, Wakil, Sekretaris, Bendahara doang. Kebanyakan ntar repot," papar Pak Tegar santai.

"Ketua kelas udah ada Dara. Wakil? Ada yang mau?"

"Saya."

Seluruh atensi kini terpaku pada cowok di sebelah kanan Dara. Cewek itu sempat melotot sebal. Bagaimana bisa tetangganya yang sangat menyebalkan itu akan menjadi partner-nya? Jangankan berkerja sama, menatap wajah sombongnya saja Dara muak.

"Ada yang lain?"

Plis, plis, adaaaa-

"Gak ada! Oke, Dio terpilih sebagai wakil ketua kelas."

Dara mendengkus jengkel. Ia melirik ke kiri dan mendapati cowok itu yang tengah tersenyum mengejek padanya.

"Tanggung jawab kalian gede, lho. Harus kompak kalian berdua," Pak Tegar menegur membuat Dara dan Dio sama-sama menganggukkan kepala dengan sedikit terpaksa. Ayolah, bagaimana bisa mereka kompak kalau bertatap muka saja sudah langsung melempar tatapan benci.

"Terus, sekretaris. Yang tulisannya bagus siapa?"

"Revan, Pak, Revan!"

Andra menoleh sedikit menoleh ke belakang untuk menatap Ardi. "Si Repan mageran luar biasa gitu mana mau anjer."

Revan mengacungkan jempol tangan kanannya sebagai balasan akan pernyataan Andra. Memang benar seratus persen, ia tidak akan mau melakukan hal-hal yang menguras tenaga seperti itu.

"Yaudah Asep."

"ASEP TULISANNYA KAYAK BAPAK DOKTER, YAKALI JADI SEKRETARIS, DI."

"Astagfirullah gue lupa."

Asep merenggut kesal. Iya sih, memang tulisannya terbilang sangat acak-acakan. Makanya ia jarang mencatat, karena kalau mencatat juga tidak guna. Toh ujung-ujungnya terlantarkan karena susah dibaca.

"Ersya aja, kan tulisannya bagus."

"NAH IYA CACA AJA."

"Ardi goblok mulutnya minta dislepet," desis Ersya sebal. Ia tidak suka bila ada yang memanggilnya dengan nama panggilan itu. Dirinya menjadi Caca hanya untuk di rumah, diluar itu dia balik menjadi Ersyanio Erzard.

"Gimana, Sya? Mau gak?"

"Iya, Pak. Saya aja."

"Oke! Sekretaris udah dapet. Dan sekarang, bagian yang paling penting," wajah Pak Tegar lantas berubah tengil saat mengatakan hal itu. Beliau jelas tahu bahwa jabatan ini sangat dibenci oleh para murid karena pekerjaannya.

"Siapa yang bersedia jadi Bendahara?"

"PARJAAAN!"

Entah bagaimana bisa sekelas serentak menyerukan nama Farzan untuk hal ini. Semuanya berpikiran sama; Farzan orang berada, tidak mungkin berbuat sesuatu yang curang. Walaupun mereka saling percaya satu sama lain, tapi kan ini sekadar antisipasi. Siapa tahu tiba-tiba setan berkunjung dan mampir dan menyuruh untuk berbuat curang. Farzan tentu tidak punya alasan untuk melakukan itu karena dia punya hal itu.

utopia (segera terbit)Where stories live. Discover now