56 || "Secepatnya."

67.8K 13.2K 3.2K
                                    

sek update.
lama ya? maap bost, w sibuk. sibuk ikutan ga di twt AHAHAHAHA anjirlah prustasi w. mari smsm berdoa biar aku menang ga 🙏🏻🙏🏻biar ni book ga terlantar mulu. nways pi reading.













"Gue lebay banget gak sih tadi?"

Dio hanya diam tak menanggapi. Ia malah asik mengunyah daging ayam geprek miliknya. Sejak tadi tetangga sebelah rumahnya itu hanya membahas hal yang sama. Apalagi kalau bukan tentang apa yang terjadi di kafe tadi. Dio sampai jengah sendiri meladeninya.

Dara mengambil napas dalam. Menatap kosong ke arah makanan yang belum disentuhnya, pikirannya kembali melayang. Dengan wajah frustasi ia lantas mengacak rambutnya. "Kenapa harus nangis, sih, Daraaa? Lebay banget tau gak?"

"Kebiasaan." Dara mendongak. "Kalo mau lakuin sesuatu itu dipikir dulu. Ujung-ujungnya ngeluh ke gue, kan."

"Gak ngeluh ke lo ya."

"Tapi di depan gue."

Dara merengut. Dirinya benar-benar menyesali kejadian tadi. "Mana tadi gue sampe nangis gitu lagi. Apa banget...."

Menghela napas berat, Dio ikut frustasi dibuatnya. Ia meletakkan nasi yang hendak masuk ke mulut dan menunjuk ayam geprek milik Dara. "Makan."

"Tiba-tiba males."

"Yang nyuruh ke sini tadi siapa?"

"Gue kan gak nyuruh lo buat ikut."

Dio tidak menjawab. Lebih tepatnya tidak tahu harus menjawab apa. Jadi ia berdeham berusaha cuek dan kembali menyantap nasi yang sempat tertunda itu.

"Mereka pasti bakal mikir gue lebay gak sih, Yo?" tanya Dara lagi, masih sembari menatap kosong ke arah ayam geprek yang harusnya sudah masuk ke perut sejak setengah jam yang lalu.

Dio diam. Malas memberi respon.

"Ngerepotin banget, apalagi tadi mukanya pada panik gitu...." Dara menghela napas pelan. Kenapa penyesalan selalu datang di akhir? Andai saja waktu bisa diputar balik. Mungkin dirinya tidak akan melakukan hal yang memalukan semacam itu. Tapi sayangnya, itu hanya andai.

Dara kembali mengacak rambutnya dengan frustasi. "Ini alasan kenapa orang bilang penyesalan itu menyiksa."

"Gak nyiksa kalo lo tau gimana nyikapinya," sahut Dio tanpa memandang Dara. "Abisin cepat. Mata lo sembab diliatin orang."

Sontak Dara mengambil ponselnya dan membuka aplikasi kamera. Kedua matanya membelalak kaget. Apa yang dikatakan Dio memang benar. "Perasaan gue nangisnya gak separah ini."

"Makan."

Dengan hati yang terpaksa Dara mengikuti perintah Dio. Sayang juga kalau tidak dihabiskan. Mana cowok di depannya sudah hampir selesai. Piring yang tadinya berisi satu porsi ayam geprek lengkap dengan nasi dan beberapa pendamping lainnya kini nyaris ludes tertinggal tulang-tulang ayam saja. Dara mencebik. Tidak heran sih, soal makan Dio memang cepat.

Saat sibuk menghabiskan pesanannya sembari berandai-andai, tak sengaja kedua mata Dara menangkap sebuah motor dan pengendara yang tidak asing. Ia menyipitkan mata, berusaha melihat dengan lebih jelas. "Dio, itu Alfa bukan?"

Dio lantas berbalik dan mengangguk kala menangkap presensi yang tidak asing. Memang benar, Alfa di sana tengah memarkirkan motornya. Dan setelah menggantungkan helm di spion cowok itu berjalan ke arah wanita yang tadi menerima pesanan mereka.

Harusnya, tapi karena Dara memanggil namanya, Alfa tersentak sejenak dan memalingkan wajah. Yang memanggil tersenyum sembari melambaikan tangannya, mengirim sinyal agar bergabung.

utopia (segera terbit)Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon