52 || Sebenarnya, Ini Ersya

84.6K 15.7K 4.7K
                                    

Pemandangan yang pertama kali dilihat saat melangkahkan kaki ke ruang tamu kediaman keluarga Ersya adalah vas bunga yang pecah dan bantal sofa berserakan. Bahkan kalau tidak salah tadi Dara sempat melihat satu bantal tepat di depan pintu masuk, seakan menyambut kedatangan mereka. Ketika masuk lagi ke dalam, ia sadar rumah Ersya sudah benar-benar kacau.

"Sya? Lo di mana? Maaf lancang, kita cuman cemas," ujar Dara memasuki rumah. Ia menatap sekitar dengan prihatin. "Astaga."

Saat hendak melangkah lagi, tanpa sengaja Alfa menangkap Jena tengah berjalan membawa baskom berisi air dan handuk putih bersih. "Jen! Ersya mana?"

Jena tersentak kecil dan menoleh. "Beli kompres ke klinik depan. Bunda di kamar. Belum siuman."

"Bunda pingsan?" tanya Dio memastikan dan setelah melihat Jena mengangguk ia melangkah masuk menghampiri bunda Ersya tanpa mengatakan apa-apa lagi. Jena mengembuskan napas dan kembali menatap mereka. Ia mengangkat sedikit baskom serta handuk bersih tersebut dan pamit, "Gua masuk dulu."

Dara terduduk di sofa. Ia menyentuh keningnya, tidak menyangka Ersya punya keluarga seperti ini. Cowok itu selalu tersenyum, tatapannya juga selalu lembut.

Ah, enggak, Ra. Gak Ersya doang, mereka semua juga kayak gitu. Dara menatap sendu ke para temannya satu persatu. Selalu haha-hihi seakan gak terjadi apa-apa. Bahkan sempet-sempetnya ngelucu padahal aslinya suram. Miris banget, mau nangis. Mengembuskan napas pelan, ia sadar bukan saatnya menjadi emosional seperti ini. Yang penting sekarang adalah kondisi bunda Ersya dan Ersya-nya sendiri.

Melihat Dio keluar, Asep lantas bertanya, "Bunda gimana?"

"Pingsan. Lebamnya lumayan banyak di betis. Baru itu doang, gue gak tau lagi," jawab Dio menjelaskan apa yang ia lihat tadi. Tidak sengaja melihat Dara yang terbengong, ia menyentuh bahu cewek tersebut, membuatnya tersentak seketika. "Gak ada yang serius. Gak usah cemas."

"Gue bukan mikirin luka itu" sahut Dara sambil menunduk. "Gue cuman takut. Luka fisik bisa sembuh, tapi kalo hati? Mana bisa," lanjutnya membuat mereka membisu.

"Gue mau liat Bunda dulu." Asep meletakkan tasnya di sofa dan beranjak ke kamar. Begitupula dengan Andra yang menyusul ingin menengok keadaan bunda Ersya tersebut.

"Gue gak kenal bundanya Ersya, tapi gue ikut sakit liatnya. Padahal perempuan itu harusnya dijaga, kenapa malah diginiin." Dara masih menunduk. Memikirkan bagaimana besarnya luka di hati bunda Ersya membuat ia meringis perih. Ia tidak tahu bagaimana keadaan keluarga Ersya sebenarnya, tapi meskipun ada masalah sekalipun kenapa harus main tangan? Mulut diciptakan untuk berbicara, kenapa tidak dipakai? Dara menerka, ini bukan yang pertama kalinya. "Gue pengen liat keadaan bundanya Ersya."

"Tunggu siuman aja, Ra. Kayaknya kalo lo nengoknya sekarang, bukannya lega malah jadi sesak. Baru di sini aja gue liat lo udah mau nangis," sahut Farzan membuat Revan mengangguk setuju.

"Lo nangis seisi rumah yang panik."

"Demi kolor pink Spongebob, kita-kita kagak tau nenangin cewek nangis gimana," timpal Ardi dengan wajah tertekan. "Pernah nenangin Jena nangis sekali doang, itu juga rambut kita harus jadi korban jambakan. Jadi kalo mau nangis tahan dulu, ya. Sercing dulu di gugele, baru dah lo mau nangis ampe baju kita penuh ingus pun gapapa."

Dara terkekeh pelan. Dasar tidak tahu tempat. "Ini udah keberapa kalinya?"

"Yang pasti lebih dari sepuluh kali. Ayah Ersya contoh manusia yang halal dicabut nyawanya. Disuruh tanda tangani surat cerai gak mau, tapi kerjaannya bikin lebam di Bunda," keluh Alfa kesal. "Jadi laki-laki tuh kalo gak ganteng seenggaknya jangan ringan tangan kek."

utopia (segera terbit)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant