46 || Cerita di TPU

76.6K 14.4K 5.3K
                                    

OIYA, PANGGIL AKU TINY 😡😡

***

Sepanjang jalan Dara hanya diam melamun. Bahkan ketika ditanyai pun cewek itu hanya mengangguk tanpa tahu apa pertanyaannya. Pikirannya kacau, memang lega tapi kini muncul rasa menyesal. Melihat wajah ibunya yang sepertinya agak terkejut dengan perkataannya, membuat dirinya merasa bersalah. Mengembuskan napas pelan, harusnya Dara bisa lebih menahan diri.

Dio mengintip tetangganya tersebut melalui kaca spion. Sedikit tidak yakin dengan tujuannya, tapi ia bersyukur cewek itu mengiyakan apa sarannya. Jadi, kalaupun nanti pilihan tempatnya salah, ia bisa mengelak dengan alasan bahwa Dara juga menyetujui sarannya.

Sesampainya di tujuan, Dio menghentikan motornya. Ia melepas helm miliknya, sedikit berbalik untuk mengetuk pelan helm milik cewek yang masih melamun itu. "Udah nyampe."

Dara terkesiap sebentar kemudian mengangguk pelan. Ia juga ikut melepas helm-nya dan turun tanpa menatap sekitar. Ia hanya menunduk dan merenungi kejadian tadi.

Melihat itu, Dio berdecak prihatin. Sebnarnya cewek itu sangat jarang membantah orang tuanya karena hal ini. Sekalinya membantah langsung muncul rasa bersalah. Aneh, tapi di satu sisi ia juga bangga pada cewek itu.

"Ayo," ajak Dio membuat Dara mengangguk pelan, masih dalam posisi menunduk. Cowok itu hendak menarik tangan Dara, tetapi tidak jadi dan memilih untuk menuntunnya dari belakang.

"Ini di mana?" tanya Dara pelan.

"Makanya liat. Nunduk mulu, tar orang ngira lo abis gue anuin lo bego."

"Gue lagi gak mood mukulin lo, Dio. Jangan mancing deh," gerutu Dara pelan.

"Makanya diliat dulu, tapi jangan mar---"

"ASTAGA DIO KOK DI KUBUR---"

Sebelum pekikan itu makin menjadi, Dio segera membungkam mulut itu dengan sebelah tangan. Ia masih ingat perkataan ibunya, harus sopan di sini.

Dara merengek pelan kemudian memukul tangan yang dengan senonoh menutup mulutnya. "Kenapa di kuburan?!" serunya tertahan.

Dio mengendikkan bahunya santai. "Lo bilang jangan yang rame. Ya ini gak rame."

Dara memukul lengan cowok itu. "Ya gak gitu juga ih!"

"Sstt!" Dio menempelkan jari telunjuknya ke mulut Dara yang menurutnya sangat berisik. "Lagian pas gue tanya lo iyain aja tuh."

"Kapan?!"

"Tadi gue iseng nanya ke kuburan aja gimana, eh lo ngangguk. Ya udah, gak usah komplain."

Dara menutup mulutnya tak percaya. Padahal ia hanya mengangguk asal, tidak tahu apa yang dikatakan oleh Dio. Ia merengek pelan dan merengsek mendekat pada cowok itu. "Baliik...."

"Manja, jauh-jauh," balas Dio ketus sembari mendorong Dara menjauh, tetapi cewek itu menolaknya. Ia semakin merengek ketakutan, membuat Dio tidak tega. "Dih, nangis?"

"Lo tetanggaan sama gue berapa tahun, sih?Kenapa gak peka-peka? Gue penakut, Dio!" rengek Dara yang sudah menangis.

Gak ngaca, keluh Dio dalam hati sembari memerhatikan Dara. Ia berdecak sebal kemudian menarik cewek itu segera keluar dari area pemakaman umum tersebut sebelum tangisannya semakin menjadi. Dalam otaknya terpikir beberapa pertanyaan, dan salah satunya ialah:

salah gue di mana anj?

***

Untungnya ada warung di depan TPU yang mereka datangi. Memilih singgah di sana sejenak, Dio juga memesan dua teh manis dan beberapa bungkus roti untuk mengganjal perut. Ia pikir hal itu cukup untuk meredakan tangisan Dara, tetapi ternyata tidak. Tangisannya memang reda, tapi tidak berhenti sepenuhnya. Dio meringis pelan, ia makin tidak tega.

utopia (segera terbit)Where stories live. Discover now