04.Friday

1.7K 108 1
                                    

ANGKASA
DAN CERITA

-

Keheningan saat matahari tengah begitu teriknya diluar sana agaknya tak begitu masalah bila kalian sedang berada di atas kasur dan tertidur ditambah kipas angin yang menyala. Atau mungkin memainkan ponsel dan mengemil untuk menghilangkan kejenuhan juga bukan ide yang buruk. Tapi sialnya, Narthana tak pernah lupa bahwa dia adalah seorang pelajar. Yang mana disaat jam-jam seperti ini dia pasti sedang berada dikelas, mendengarkan guru yang sedang berbicara didepan tanpa ada yang boleh mengacau apalagi tidur.

Di barisan ketiga paling belakang, Narthana bersama Harsa sudah setengah mati menahan kantuk yang menyerang. Bahkan keduanya berkali-kali menahan kelopak matanya supaya tidak menutup menggunakan dua jari yang masing-masing menarik kearah berlawanan.

Mereka saling melirik, kemudian mengangguk pelan. Saling memberi semangat untuk melewati jam pelajaran yang sebentar lagi usai. Jika itu adalah selain pelajaran Fisika, maka tidak jadi masalah bila keduanya tertidur. Ataupun bisa izin keluar dengan dalih ke toilet padahal mampir ke kantin juga ngadem di UKS. Tapi sayangnya hari ini adalah hari jum'at, yang artinya pelajaran Fisika adalah salah satu jadwal mereka.

Bu Pipit, dengan alisnya yang dilukis begitu tebal itu selalu menukik kala menjelaskan. Dandanan menor dan lipstick merah tebal yang selalu menjadi ciri khas wanita berumur 45 tahun itu bahkan tak pernah absen membawa segala macam makeup dalam tas jinjingnya. Dan suara yang lebih mirip toa masjid itu bahkan membuat para murid harus siap menutup telinga mereka supaya tidak rusak kala bersuara.

Bu Pipit ini sebenarnya guru yang cukup baik jika memang para muridnya tak membuat masalah. Namun sekalinya bermasalah, apalagi saat jam mengajarnya, maka kursi pun bisa melayang kapan saja. Kelas 10 IPA 3 pernah menjadi sasaran pelemparan kursi meskipun tidak kena, tapi tetap saja itu membuat kapok si biang rusuh yang semula tak bisa diatur. Panggil saja dia Harsa Maitreya Ravish, yang sifatnya adalah petakilan, sangat jahil, suka makan banyak, tapi malas olahraga. Dan dengan berat hati Narthana mengakui bahwa dia adalah teman sebangkunya.

"5 menit lagi tapi rasanya hampir setengah abad anjir, lama banget" keluh Harsa disampingnya sambil berbisik. Narthana mengangguk menyetujui. Berkali-kali dia melirik jam dan itu membuatnya ingin sekali membuang benda bulat itu sejauh mungkin. Lelet sekali seperti bayi siput.

"Lo ngarti gak? " tanya Narthana kala Bu Pipit menuliskan contoh soal bersama rumus dan cara menjawabnya. Mendadak dia merasa jadi orang yang buta huruf karena saking tak fokusnya.

Harsa melirik sekilas "pertanyaan lo salah Na. Seharusnya lo mual-mual sama pusing gak? gitu, karena gue ngerasain itu sekarang pas Bu Pipit nulis rumus didepan"

Narthana terkekeh pelan, kemudian berusaha terlihat biasa saja kala Bu Pipit berbalik "Kayak bumil aja lo"

Dia mengedarkan pandangannya pada teman-temannya yang lain. Raut wajah mereka pun tak jauh berbeda dengan dirinya dan Harsa. Ekspresi-ekspresi menahan kantuk dan bosan. Oh atau mungkin tidak.

Narthana mengerutkan alisnya ketika melihat Ghea —teman sekelas yang tidak begitu akrab dengannya— terlihat begitu tekun dan serius mendengarkan Bu Pipit. Narthana jadi berpikir, apa dia tidak jenuh dan bosan? Padahal pelajaran Bu Pipit ini hampir memakan waktu satu jam, tapi wajah itu masih terlihat segar-segar saja.

Setelah beribu detik berlalu dengan sangat lambat, bel tanda istirahat yang sudah ditunggu-tunggu itu akhirnya terdengar. Menginterupsi Bu Pipit yang masih semangat menjelaskan. Bahkan mulutnya terbuka hendak kembali memberi contoh soal, namun tidak jadi ketika para muridnya bersorak. Wanita itu menarik bibirnya membentuk garis lurus, kemudian mengangguk pelan.

"Yasudah, ibu cukupkan sampai disini pelajaran kita hari ini. Untuk tugas, kalian ibu kasih bonus 20 soal didalam buku paket halaman 119 ya, essay semua itu lumayan"

Sorakan dan wajah sumringah dari 20 siswa itu seketika lenyap, diganti senyuman kecut dengan helaan nafas kasar bersamaan. Bu Pipit menggeleng, kompak sekali mereka.

"Untuk laki-laki jangan pada kabur, ingat sholat jum'at dulu ya" kalimat itu seakan jadi penutup bagi Bu Pipit yang telah melenggang keluar.

Sebelum sholat jum'at dimulai, masih ada waktu untuk mereka ke kantin mengisi perut. Jadi kelas yang semula ramai kini mulai semakin lenggang ketika mereka berhamburan keluar.

"Kuy lah jajan, penghuni perut gua udah pada demo minta jatah" ajak Harsa begitu bersemangat. Anak itu sudah seperti mendapat sembako satu truk jika soal makanan dan mengisi perut.

"Lo nanti pulang dijemput Na? Tumben banget. Emang si Merah kemana?" Tanya Jevo di sela-sela mereka makan. Ketiganya kini tengah menyantap baso tahu Mbak Dian, yang setiap hari selalu ramai oleh siswa laki-laki yang membeli. Maklum saja, janda muda. Bahkan mereka harus mengantri lama untuk mendapatkan 3 porsi.

"Nginep di bengkel, gak tahu kenapa kemarin sore abis dipake sama Bokap dia ngadat gak mau jalan"

"Waduh, diapain tuh sama bokap lo? "

Narthana mengendikkan bahu tak tahu. Kebetulan hari ini dia juga agak malas membawa motor. Inginnya duduk santai tanpa harus mengendarai dan panas-panasan.

Setelah semua menghabiskan makanan masing-masing, mereka pun bergegas untuk pergi ke mesjid sekolah yang sudah ramai oleh bapak-bapak dan murid yang akan melaksanakan sholat jum'at. Rambut dan wajah mereka terlihat basah setelah mengambil wudhu. Ketiganya duduk di barisan belakang sambil menunggu jum'atan dimulai.

Ketiganya begitu khusyuk dan serius mendengarkan khotib yang berbicara didepan. Tak satupun dari mereka yang membuka mulut untuk mengobrol. Dan hingga selesai, mereka pun bersiap kembali ke kelas untuk kembali belajar pelajaran terakhir.

"Lo denger kan Sa, tadi khotib bilang apa? Kalau kita itu harus banyak-banyak menyiapkan bekal untuk kematian. Jangan bekal untuk ngisi perut doang" celetuk Jevo dengan tubuhnya yang merunduk untuk menyimpulkan tali sepatu.

"Ya denger lah, dan lo juga pasti gak budeg kalo kita harus banyak-banyak beramal baik, bukan banyak-banyak beramal julid" celetuk Harsa tak kalah ketus, dan keduanya kemudian saling melirik tajam.

Berbeda dengan Narthana yang memilih mengabaikan mereka. Dia terdiam kala penglihatannya menjangkau seseorang yang sedang asyik membaca buku seraya bersandar pada pagar pembatas rooftop.

Dia heran kenapa gadis itu selalu sendiri kemana-mana. Tak pernah dia melihat Ghea bercengkrama atau bercanda dengan seseorang bahkan teman sekelas. Dan Narthana sudah cukup tahu dengan sikap perempuan itu yang memang cuek bebek dan pendiam. Sekalinya ngomong kadang ketus banget.

Oh, Narthana baru ingat jika Ghea ini keturunan Alsaki, yang tak lain adalah pemilik sekolah elite ini.
Tapi kok bisa dia gak punya temen?

 Tapi kok bisa dia gak punya temen?

Oops! Ang larawang ito ay hindi sumusunod sa aming mga alituntunin sa nilalaman. Upang magpatuloy sa pag-publish, subukan itong alisin o mag-upload ng bago.
Angkasa dan CeritaTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon