11.Question

991 96 2
                                    

ANGKASA
DAN CERITA

-

"Na! Ayo buruan, sebentar lagi adzan! " Teriakan Sena menggelegar di dalam rumah. Menunggu dengan sabar putra satu-satunya yang sulit sekali untuk bersiap. Di ambang pintu, dengan latar langit yang hampir berubah gelap, Sena mengenakan peci hitamnya sebelum dia sempat menyisir rambutnya yang masih sedikit basah dengan jari-jari tangan.

"Iya Pa, bentar! " teriakan yang tak kalah nyaring itu terdengar, seiring dengan langkah buru-buru yang sedang menuruni anak tangga. Narthana berada di sana ketika Sena hendak mengenakan sandalnya, lengkap dengan kemeja koko, sarung dan peci yang terlihat rapi. Pemuda itu tercengir lebar. "Hehe, parfuman dulu tadi biar wangi" ujarnya membuat Sena menggelengkan kepala pelan.

"Mau ketemu siapa kamu pake parfum banyak begitu? " tanya Sena kala hidungnya mencium bau parfum yang menyengat.

"Apa sih Pa? Jangan su'udzon deh. Kita kan mau sholat, di masjid, menghadap Alloh. Masa menghadap Tuhan kita biasa-biasa aja, sedangkan ketemuan sama pacar pake pakaian branded sama parfum mahal. Malu dong" jelasnya sembari mengambil sandal yang tersusun di rak.

Sena menyunggingkan senyum kemudian menepuk bahu Narthana pelan. "Iya deh maaf. MasyaAllah anaknya Papa pinter banget" puji laki-laki itu kemudian terkekeh kecil.

Narthana yang mendengar sontak mendelik, "dih" cibirnya seraya melangkah menjauh. Namun baru beberapa langkah, dia tiba-tiba teringat sesuatu. Tangannya menepuk kepalanya cukup keras meski sedetik kemudian dia mengaduh. Dia segera berbalik dan membuka kembali pintu yang akan di kunci oleh Sena, "bentar Pa, ada yang ketinggalan" ujarnya seraya berlari.

Sena berdecak malas, "jangan lama dong, Na. Takutnya kita gak kebagian shaf lho"

"Iya! " jawaban itu terdengar samar. Hingga beberapa menit kemudian pemuda itu kembali dengan sesuatu yang dia masukkan kedalam lipatan peci.

"Apaan tuh? Kayak orang tua aja kamu nyimpennya di dalem peci" tanya Sena sambil menutup pintu dan menguncinya. Dia menyimpan kunci itu di bawah pot tanaman, dan memastikannya tidak mudah terlihat.

"Ada deh. Jangan kepo ya" ujarnya sok rahasia. Sena mendengus. Keduanya kini berjalan beriringan menuju masjid terdekat yang sudah diisi oleh para penghuni komplek yang akan melaksanakan sholat maghrib berjamaah.

"Bang! " seruan antusias yang Narthana yakini memanggilnya, membuat dia langsung menoleh mencari sumber suara. Berjarak kurang lebih 3 meter di belakang, dia mendapati Jian -anak dari ustadz Fathur- yang kini mulai berjalan cepat mendekatinya.

"Eh Jian. Sendirian aja kamu? Abi nya kemana? " tanya Sena menyapa. Di pelataran masjid, ketiganya tampak mengobrol.

"Ada om, udah duluan di dalem. Abi ninggalin Jian tadi" katanya kemudian cemberut, terlihat kesal. Sena dan Narthana sontak tersenyum gemas. Jian ini meskipun sudah masuk SMP tingkat akhir, tetapi wajahnya sangat babyface. Sehingga hal kecil seperti ini pun akan terlihat menggemaskan jika Jian yang melakukannya.

"Kasian. Kalo begitu om masuk duluan juga ya. Kalian jangan lama-lama ngobrolnya"

Mereka mengangguk cepat.

Setelah Sena berlalu, kini tinggallah mereka berdua. Narthana tampak melirik ke dalam masjid yang hampir penuh, kemudian mengalihkan pandangannya pada Jian.

"Abang kemana aja kemarin-kemarin? Kok gak pernah keliatan di masjid? "

Narthana mengerjapkan matanya beberapa kali kemudian menjawab, "ada di rumah. Cuman agak kurang enak badan, jadi gak kuat kalo harus jalan dulu ke masjid" ujarnya mau tak mau membuat Jian mengangguk pelan.

Angkasa dan CeritaWhere stories live. Discover now