28.Irreplaceable

845 89 1
                                    

ANGKASA
DAN CERITA

-

"Udah makan, Sen? " tanya Amih ketika anaknya yang baru mandi setelah pulang bekerja, kini duduk di kursi makan. Perempuan paruh baya itu kini sedang menata piring-piring yang baru selesai dia cuci ke dalam rak.

Sena menganggukkan kepala sebagai balasan, "sudah bu" dia menatap Apih yang sedang menonton televisi sendirian dengan ditemani kopi panas. Merasa pandangannya tidak menangkap keberadaan sang putra, dia lantas bertanya "Narthana di kamar, bu? "

"Iya"

"Udah di suruh makan obat? "

"Udah" Amih mengusapkan tangannya yang basah pada lap supaya kering, "tadi sebelum dia ke kamar Amih nyuruh dia makan obat dulu. Tapi Amih gak tahu dia beneran udah minum obat apa belum, makanya ini mau cek"

Sena sontak berdiri saat sang ibu hendak beranjak, "biar Sena aja, bu" katanya yang lalu dijawab anggukan oleh Amih.

Dia berlalu naik ke atas menuju kamar putranya. Berhenti di depan pintu kayu yang langsung dia ketuk sebelum mendapat teriakan 'masuk' dari dalam. Sena membuka pintu dan seketika melotot kaget. "Kamu ngapain? "

Narthana menoleh, menghentikan sejenak tarian jemarinya di atas papan keyboard. Dia menghela napas seraya mendelik, "Papa pikir? " tanyanya aneh.

Padahal sudah jelas dia sedang mengerjakan tugas. Buku bertumpuk di hadapannya, sedangkan dalam halaman Microsoft word, telah terdapat ribuan kata yang telah dia susun serapi mungkin. Lalu Sena tiba-tiba datang dan bertanya dia sedang apa? Dan ada apa dengan ekspresi kaget yang berlebihan itu?

Sena buru-buru mendekat lalu menatap layar laptop seraya berdecak, "kamu ngerjain ini? "

"Yaiyalah" jawabnya cuek.

Sena menggeleng pelan dengan mata yang menatap beberapa buku tebal yang berserakan, dan setelah itu melipat dua tangannya di depan dada, melemparkan tatapan aneh pada sang anak, "tumben? "

Untuk yang kedua kali Narthana menghela napas. Memang apa yang salah dengan dia yang mengerjakan tugas? Seperti hal yang aneh saja. Dia tak menjawab, tetapi alisnya menukik dengan bibir yang cemberut. Berusaha fokus dan tak memperdulikan sang ayah yang masih menatapnya heran. Dalam hati dia menggerutu, kenapa tugas ini harus diselesaikan secara mendadak, disaat besok adalah jadwal pengumpulan makalah kelompok?

Ya dia tidak bisa menyalahkan siapa-siapa juga, karena memang waktu 2 minggu yang diberikan pak Dio ternyata malah terkikis habis oleh perawatannya selama di rumah sakit. Sehingga disaat minggu terakhir, mereka baru mengerjakan setengah —sewaktu pengerjaan di cafe—, dilanjut sebagian oleh Ghea dan sisanya oleh Narthana yang dia bawa ke rumah. Maka dari itu dia harus menyelesaikan ini segera supaya besok bisa dikumpulkan.

Mengingat wajah pucat Ghea tadi sore, membuat dia tak tega jika perempuan itu harus mengerjakannya hingga selesai. Jadi sebelum pulang, dia berinisiatif untuk meminta file makalah yang belum rampung itu, sekaligus buku-buku referensi yang digunakan Ghea. Dengan yakinnya dia waktu itu bisa mengerjakan dengan cepat, tetapi ternyata waktunya banyak habis untuk mencari materi akhir di buku dan internet.

Usapan di kepala dari tangan besar Sena membuat Narthana berhenti sejenak untuk menatap sang ayah. Dilihatnya senyuman tulus itu yang entah kenapa sukses membuat rasa kesalnya sirna secara perlahan. Bahkan dia tak sadar telah melunakkan tatapan tajamnya menjadi normal seperti biasa.

"Udah minum obat? " Narthana mengangguk tanpa mengalihkan pandangan. Sena tersenyum lagi, "bagus" kemudian menepuk kepalanya pelan beberapa kali.

"Itu tugasnya udah sampe mana? Masih banyak? "

Angkasa dan CeritaWhere stories live. Discover now