38.Schemering

852 88 5
                                    

ANGKASA
DAN CERITA

-

"Kamu pikir kamu sudah buat Papi bangga? Selama ini kamu hanya selalu buat Papi kecewa. Semua pencapaianmu selama ini masih gak ada apa-apanya dengan apa yang sudah kakakmu lakukan"

Ghea menghela napas berat. Pandangannya yang sempat terhalang oleh buku kini mulai bisa menatap hamparan langit biru yang membentang luas. Menjadikannya latar untuk sang raja siang yang dengan gagahnya bersinar diantara kumpulan awan tipis yang bergerak begitu pelan.

Tatapannya menerawang jauh, menciptakan kata 'andai' yang satu persatu muncul membuat rentetan kalimat pengharapan. Tidak ada perasaan lain yang dia rasakan selain sesak. Semua seolah mencekiknya meski itu hanya sebuah kalimat yang biasa ayahnya lontarkan. Seharusnya dia terbiasa kan? Seharusnya dia sudah kebal dengan itu. Karena sedari kecil dia terbiasa dibeda-bedakan. Terbiasa menjadi rendah di antara kedua kakaknya. Namun kenapa ini masih terasa begitu menyakitkan? Kenapa hatinya merasa sakit tiap kali bayangan sang ayah kembali muncul di ingatannya? Kenapa hatinya tidak sekuat itu?

Untuk pertama kalinya Ghea terdiam dan membiarkan air matanya mengalir begitu saja. Dengan tanpa isakan dia mencoba mengeluarkan semua sesak yang semakin menumpuk tiada habis. Matanya memejam merasakan hembusan angin yang membelainya lembut. Seakan menghapus tiap jejak air yang mengalir di pipinya.

Kapan semua ini berakhir?

Berkali-kali mentalnya jatuh oleh omongan tajam sang ayah. Tiap hal yang sudah dia lakukan semaksimal mungkin nyatanya tak pernah membuat ayahnya puas. Dia selalu dituntut menjadi yang sempurna meski terkadang dia harus tertatih-tatih. Kakinya yang telah berdarah-darah harus selalu dipaksa berjalan untuk mencapai titik sempurna yang ayahnya maksud. Namun hingga kini Ghea tak pernah mengerti sebenarnya sempurna macam apa yang sedang berusaha ayahnya kejar. Ghea tak pernah paham.

"Seandainya Ren masih ada, pasti dia akan lebih membuat Papi bangga"

Ren?

Memang hanya selalu Ren yang Papinya inginkan. Sepertinya bila dulu dia bisa menggantikan posisi Ren pada kecelakaan waktu itu, Papinya pasti tidak akan terus merasa kecewa seperti sekarang.

"Seharusnya kamu yang ada di dalam sana, Ghea. Bukan anak saya"

Lantas selama ini dia siapa?

Ghea tersenyum miris. Dia lupa, bahwa selama ini dia hanyalah boneka pengganti Ren, saudaranya yang telah lama meninggal. Seharusnya dia tak boleh kecewa dengan itu, karena mau sebagaimana pun dia merasakan sakit, tidak akan ada yang menggubrisnya sama sekali.

"Ternyata ini emang tempat favorit lo ya? "

Kedatangan Narthana yang tiba-tiba duduk di sampingnya telah membuyarkan lamunan singkat Ghea. Lelaki itu menengadah menatap bentangan biru yang melukis angkasa. Matanya menyipit silau kemudian langsung menoleh pada sosok perempuan yang akhir-akhir ini selalu menyita perhatiannya.

Namun raut jenaka yang akan melontarkan canda itu seketika berubah ketika melihat wajah sembab gadis di sampingnya. Dia mengerutkan dahi ketika memperhatikan pergerakan cepat Ghea yang langsung menghapus seluruh sisa air mata yang masih menetes dari sepasang mata bening itu.

"Ngapain lo di sini?!" Ketus Ghea seketika kala dirasa air matanya telah hilang. Dia berusaha mengontrol raut wajah sesantai mungkin.

Angkasa dan CeritaWhere stories live. Discover now