34.Lunch

959 89 6
                                    

ANGKASA
DAN CERITA

-

"Hari ini jangan banyak tingkah dulu. Simpen aja energinya biar gak cepet habis. Kalo ada apa-apa langsung telepon Papa atau bunda. Kalo misalkan gak kuat jangan maksain diri, minta izin aja sama guru piketnya biar pulung duluan. Dan kalo—"

"Iya Paaa, aku udah denger kalimat tadi sebanyak lima kali pagi ini. Jadi aku gak akan lupa" serobot Narthana sebelum Sena melanjutkan kalimatnya yang masih panjang itu. "Lagian kapan sih aku banyak tingkah? Perasaan aku orangnya pendiem kok" sambungnya.

Sena yang mendengar balasan seperti itu lantas mendelik jengah, "iya menurut kamu, bukan menurut orang lain. Papa gak akan lupa ya sama laporan wali kelas kamu waktu kamu pecahin kaca dulu gara-gara main bola di dalam kelas. Padahal baru hari pertama masuk" ujarnya menggerutu.

"Yaa.. kalo itu sih kecelakaan yang gak disengaja, Pa. Gak usah diungkit-ungkit lagi laah"

"Ya tapi gara-gara itu Papa jadi harus ganti rugi, kan"

Narthana melengkungkan bibirnya ke bawah. "Iya maaf yang itu. Tapi kan itu cuman sekali"

"Iya, kamu emang baru pecahin kaca nya sekali. Tapi yang kedua kamu sampai bikin pintu kelas jebol gara-gara kamu tendang. Mau Papa sebutin lagi yang lain?"

Sena kembali mengungkit kejadian dulu saat Narthana baru saja menginjak bangku SMA. Padahal belum ada satu minggu bersekolah di sana tapi Sena sudah mendapat laporan sebanyak dua kali dari wali kelas tentang tingkah putranya. Saat itu dia baru selesai menangani pasien di UGD, dan harus langsung dibuat pusing oleh tingkah anak satu-satunya kala itu.

Sena sebenarnya tidak berniat untuk mengungkit masalah lama. Lagipula selama 3 bulan belakangan dia tak pernah lagi mendapat teror telepon dari wali kelas Narthana tentang tingkah anak itu. Namun untuk kali ini, dia hanya ingin membuat Narthana tahu diri, bahwa kata 'pendiam' yang anak itu maksud tidaklah sama dengan arti kata pendiam sesungguhnya yang orang-orang ketahui. Ya, hanya itu.

"Yaa itu sih bukan salah aku. Orang tadinya aku mau nendang tembok, cuman kedorong sama Harsa" kata Narthana mencoba meluruskan masalahnya.

Sena sontak memicing curiga, "mau ngapain kamu nendang tembok? Mau ngeruntuhin sekolah?"

Sadar dirinya salah mengungkap pembelaan, Narthana langsung menggelengkan kepala. "Udah ah, bentar lagi masuk. Papa kalo ngajak ngobrol terus bisa-bisa aku telat" Narthana segera meraih dan mencium tangan Sena. Dia membuka pintu mobil seraya mengucap salam dengan sedikit berteriak.

"Assalamualaikum! "

"Wa'alaykumsalam"

Dari dalam mobil Sena menatap tiap langkah Narthana yang masuk ke dalam sekolah sendirian. Tidak lama kemudian tampak seorang pemuda yang menyusul berlari lalu merangkul bahu Narthana hingga membuat anak itu kaget. Setelah itu dia bisa melihat bagaimana Narthana yang berusaha mendorong tubuh temannya dengan kesal. Sedangkan si empunya tertawa seraya mengejek karena dirinya tak terdorong sedikitpun.

Sena tersenyum kecil. Melihat putranya telah tumbuh dewasa seperti ini membuat Sena banyak mengucapkan syukur dalam hati. Tak pernah menyangka sama sekali bahwa dia bisa membesarkan Narthana seorang diri selama ini. Anak itu telah tumbuh dengan baik selama bertahun-tahun meski kini harus kembali menderita.

"Na! Astogeh!"

Narthana menatap heran kehebohan Harsa saat baru melihatnya masuk ke dalam kelas bersama Sunan. Bahkan anak itu rela berlari menghampirinya yang masih berdiri di depan ambang pintu dengan bingung.

Angkasa dan CeritaWhere stories live. Discover now