42.Second

907 110 11
                                    

ANGKASA
DAN CERITA

-

Dalam posisi merunduk pada meja kerjanya Sena tiba-tiba terkesiap. Dia seketika tersadar dan bangun dari tidur singkatnya yang hanya berlangsung beberapa menit. Wajahnya nampak sekali kacau, dan setelah ini dia masih harus bertatap muka dengan para pasien yang akan berkonsultasi.

Lelaki itu menghela napas. Tangannya menyapu seluruh wajah untuk menghilangkan kantuk. Setelah diam sejenak dengan pikiran yang melayang-layang dia segera keluar untuk menuju toilet, berniat mencuci muka.

Jarak toilet tidak begitu jauh. Hanya berada di ujung lorong. Maka setelah wajahnya kembali segar dengan basuhan air, Sena langsung keluar tanpa mau berlama-lama. Netranya menatap arloji di tangan kanan seraya terus melangkah. Masih ada waktu setengah jam untuk jadwal konsultasi. Maka tanpa berpikir lama lagi kakinya lantas berbelok ke kanan dan sampai di area ICU yang sedang dijaga oleh beberapa perawat. Pintu yang terbuat dari kaca itu secara otomatis terbuka kala Sena menyentuh tombol di sampingnya.

"Selamat siang, dokter. Menjenguk Narthana?" Perawat perempuan yang sedang berjaga dengan dua rekannya itu tersenyum menyapa Sena.

"Iya. Keadaannya stabil kan?" Tanyanya setelah membalas senyuman tiga perawat muda itu.

"Stabil dokter. Kami sudah mengecek keadaan Narthana tadi dan tidak ada tanda gangguan apapun"

Sena mengangguk seraya menghela napas lega. "Terima kasih. Kalau begitu saya mau masuk dulu sebentar"

"Iya dokter, silahkan"

Sena membuka pintu kaca pada ruangan persegi yang ditempati oleh Narthana. Suara mengerikan dari elektrokardiogram yang berbunyi secara konstan mendominasi keheningan yang ada. Namun grafiknya yang masih naik turun secara teratur telah sedikit memberi rasa lega untuk Sena. Tubuh Narthana yang masih terbujur di ranjang pesakitan menyapa indra penglihatan Sena. Mulut anak itu juga terbuka sebagai jalan ventilator masuk. Wajahnya sangat pucat dibanding kala Narthana terserang demam beberapa minggu yang lalu. Dan jika Sena boleh memilih, dia lebih suka melihat wajah mengejek anaknya dibanding dengan tidur tenang seperti ini.

Sena menarik kursi di sebelah ranjang kemudian duduk diam di sana. Selama beberapa lama dia tak kunjung bersuara maupun bergerak. Saat ini dia hanya ingin memandangi wajah putranya dengan puas.

Melihat keadaan saat ini membuat Sena seketika ingat dengan mimpinya tadi. Mimpi buruk yang selama ini terus datang sejak Narthana masuk rumah sakit.

"Papa!" Narthana melambai di kejauhan bersama seseorang di sampingnya. Sena memicingkan mata untuk melihat lebih jelas.

"Papa, ini Nana!"

Sena seketika membelalak kaget. Dia berteriak, "Nana! "

Narthana nampak berlari menghampirinya. Kaki-kaki kecil itu melangkah dengan riang membuat Sena sontak membeku. Kali ini tubuh yang sedang berdiri di depannya bukanlah sosok Narthana besar berusia 17 tahun. Melainkan Narthana kecil ketika umurnya masih menginjak 5 tahun.

"Papa! Nana kangen!"

Sena tertegun. Matanya tiba-tiba berbayang, terhalang oleh embun yang melapisi indra penglihatannya. Dia perlahan berjongkok, menyetarakan tinggi mereka. Dia tak dapat lagi menahan air mata ketika sosok bertubuh mungil itu tersenyum manis dan tanpa aba-aba menubruk dada bidangnya dan mengalungkan dua tangan kecil itu di leher Sena. "Papa! Nana rindu sekalii" ujarnya sekali lagi.

Sena menangis. Dia membalas pelukan Narthana dengan sangat erat untuk menyalurkan rasa rindu dan takut. "Papa juga rindu Nana. Nana sedang apa di sini?"

Angkasa dan CeritaOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz