08.Narthana's Fear

1.4K 125 3
                                    

ANGKASA
DAN CERITA

-

    
     Adzan isya' telah berkumandang sekitar 30 menit yang lalu, dan Sena baru pulang setelah tugasnya di rumah sakit selesai. Dia berjalan tergesa memasuki rumah untuk segera membersihkan diri dan melaksanakan sholat. Terlebih dahulu dia menyimpan tas dan jas snelli kebanggaannya di atas sofa, pria itu menatap heran keheningan di dalam rumahnya. Walaupun rumah hanya ditinggali berdua, tapi biasanya Narthana akan menyambut kepulangannya di depan televisi meski dengan tengadahan tangan yang meminta jajanan. Tapi kali ini tidak.

Sena pikir mungkin anak itu berada di kamar. Jadi dia memilih untuk menengok anaknya sebentar, hanya untuk tunjuk muka bahwa dirinya sudah pulang.

"Na? " panggilnya sembari mengetuk pintu. Sejenak dia tak mendengar sahutan apapun dari dalam, sehingga dia kembali mengetuk disertai dengan suaranya yang memanggil. "Narthana? Kamu udah tidur? "

Tangannya mencoba memutar handle pintu, mendorong benda berbahan kayu jati itu perlahan. Tidak dikunci. Dia masuk ke dalam, di suguhi gundukan dibawah selimut yang tampak enggan bergerak. "Na? Udah sholat belum? " tanya nya sembari mengguncang bahu anak itu.

Samar terdengar erangan dan geliatan kecil, lalu setelahnya selimut itu turun sedikit, memperlihatkan wajah bantal Narthana yang tengah berusaha membuka mata. "Papa? "

Sena menarik senyumnya tipis, "Iya ini Papa. Kamu kenapa jam segini udah tidur? Udah sholat ? " tanya nya sekali lagi.

Narthana menarik nafasnya sejenak, kemudian bangkit perlahan. Dia mengangguk sebagai jawaban sudah, namun setelahnya dia meringis kecil. Tangan kanannya dibawa untuk mengurut dada yang terasa tak enak sejak sepulang sekolah tadi, membuat Sena yang melihat pun lantas panik. "Kenapa? Dada kamu sakit? " Pria itu bertanya dengan nada cemas.

Satu gelengan disertai senyuman tipis Sena dapatkan dari sang anak, namun tak juga menyurutkan rasa khawatirnya yang sudah setengah mengambang. "Enggak, tapi kayaknya aku masuk angin deh Pa. Soalnya seharian tadi aku diem di rooftop sama Jevo" keluhnya.

Sena tak lantas percaya begitu saja, "bener? " tanyanya memastikan.

Narthana mengangguk, "iya" jawabnya.

Ayah tunggal satu anak itu menghela nafas. Sedikitnya dia mendengus kesal karena kecerobohan Narthana yang tak pernah perduli pada tubuhnya sendiri. "Kamu itu susah banget dibilangin. Udah tahu kamu itu gak tahan kena angin lama-lama masih aja nyari penyakit" gerutunya tak suka. Selalu saja seperti ini. Sena pikir apa anak itu tak pernah kapok merasakan sakit?

Narthana mengerucutkan bibirnya. Kini dia sudah menyiapkan telinga bilamana ayahnya akan terus mengomel hingga esok pagi.

"Kamu udah makan? "

Remaja tanggung itu terdiam sebelum akhirnya mengangguk ragu, "makan siang udah"

Dan untuk yang kedua kalinya Sena menghela nafas, "makan siang itu beberapa jam yang lalu, Na. Kamu itu susah banget sih dikasih tahu. Kalo nanti kamu tepar, siapa yang bakal nangis-nangis gak mau ke rumah sakit? Siapa yang suka mohon-mohon supaya gak minum obat? Terus siapa yang suka kesel kalo diinfus? Ya kamu, Na, " Sena mengungkapkan segala kekesalannya saat itu. Dia benar-benar tak suka jika Narthana sudah menunda-nunda makan. Apalagi anak itu selalu mengeluh nyeri perut karena maag nya kambuh.

"kalo kamu masih kayak gini, gimana Papa bisa percaya kalo kamu bisa tanggung jawab sama diri kamu sendiri? Untuk hal penting kayak gini aja kamu selalu nyepelein. "

Narthana menunduk segan, "maaf Pa"

Selama di rumah, Narthana memang mengenal Sena sebagai seorang ayah yang sangat seru dan penyayang. Terkadang Sena selalu asik diajak bercanda dan mengobrol bahkan untuk topik anak remaja seperti dirinya. Sena itu definisi ayah rasa teman. Namun terkadang, di satu waktu Narthana akan melihat sisi seorang ayah yang sebenarnya dari Sena; sifat tegas nya akan muncul ketika dirinya telah melakukan sebuah kesalahan. Apalagi untuk kelalaiannya dalam menjaga kesehatan, maka Sena akan jadi orang yang paling cerewet.

Pria itu memandang lamat anaknya yang masih menunduk. Tak tega sebenarnya ketika dia harus marah-marah seperti tadi. Apalagi Narthana itu anak kesayangan dia satu-satunya. Tapi mau bagaimanapun, anak itu harus tahu tentang pentingnya menjaga tubuh. Supaya tidak kebiasaan.

"Mau Papa ambil makanannya kesini? "

Sontak Narthana mengangkat kepalanya, menatap sang ayah yang telah melunakkan sorot matanya. Dia menggeleng, "Nana turun aja, Pa"

Ah, Sena selalu suka ketika Narthana memanggil dirinya sendiri Nana. Dia tersenyum tipis. Tangannya terangkat untuk mengusap kepala sang anak pelan. "Ya udah, biar Papa siapin makanannya di bawah. Kamu harus makan biar bisa minum obat. Nanti setelah bersih-bersih sama sholat, Papa pakein kamu minyak angin ya? "

"Iya. Maaf Pa, Nana belum bisa jaga diri Nana sendiri"

Sena mengangguk, "iya gak papa. Tapi lain kali jangan diulangi lagi. Papa gak suka kamu sakit"

°••°

     Malam hari yang terlewati lagi-lagi terasa sangat panjang bagi Narthana. Matanya yang enggan terpejam itu terus menatap langit kamar yang dihiasi warna biru gelap dengan titik-titik kecil sebagai bintang —mahakarya Sena dan dirinya beberapa minggu yang lalu—.

Jika diingatkan lagi, jam berbentuk bulat yang terpasang di dinding itu sudah menunjuk angka 1 dengan jarum pendeknya. Dan sudah seharusnya anak sekolah seperti Narthana tertidur sejak beberapa jam yang lalu untuk terbangun esok pagi supaya tidak terlambat. Namun seolah siang hari, matanya masih begitu segar untuk terbuka.

Satu helaan nafas panjang terdengar. Tubuh yang berbobot tidak lebih dari 63 kg itu terasa amat lelah ingin dibawa istirahat. Tetapi otaknya tidak mendukung hal itu. Sehingga setelah Sena memberi perintah untuknya segera tidur, dia malah terbangun.

Seulas senyum tipis terpatri dengan begitu menawan kala matanya tak sengaja menatap bingkai foto seorang wanita yang dia simpan di atas nakas. Jangan berpikiran macam-macam. Itu ibunya.

Kirani Ayu Shinta. Nama yang sangat cantik, persis seperti sang pemilik. Narthana akui bahwa paras ibunya seperti seorang bidadari. Senyuman yang anggun dan menawan, begitu indah untuk dipandang. Narthana pernah berpikir betapa beruntungnya dia bisa terlahir dalam rahim seorang wanita seperti Kirani. Dan dia berpikir betapa beruntungnya sang ayah karena bisa mencintai dan dicintai wanita sesempurna ibunya. Ah! Jika dia bisa menyombongkan itu kepada teman-temannya, maka akan dia lakukan sedari dulu.

"Ma, Papa sudah merawat Nana dengan baik sampai saat ini" gumamnya seraya menatap pigura itu dengan sorot penuh rindu. "Tapi sayangnya Nana masih belum bisa merawat diri Nana sendiri dengan baik"

Netra berwarna kecoklatan itu nampak berembun, bersamaan dengan sesak yang datang secara perlahan. "Maaf, Ma. Nana masih bandel; sering banget ngebantah Papa. Nana belum bisa jadi anak yang baik dan penurut seperti apa yang Mama minta, " dia membungkam dua belah bibirnya untuk tidak mengeluarkan suara isakan.

"Akhir-akhir ini Nana serasa deja vu Ma,"

"dan Nana takut kejadian dulu terulang" sambungnya.

Dia menekan keras dada kirinya yang terasa berdenyut sakit. Kepalanya menggeleng pelan, "Nana kangen sama Mama, tapi untuk saat ini jangan biarkan Nana menyusul Mama, ya? Nana masih ingin lihat Papa bahagia, Ma. "

Angkasa dan CeritaWhere stories live. Discover now