09.Monday

1.2K 100 2
                                    

ANGKASA
DAN CERITA

-

Hari yang begitu cerah, tanpa tanda awan kelabu yang siap menggantung, matahari tampak senang berbagi cahaya dan hangatnya untuk makhluk bumi. Namun sepertinya, hari senin selalu menjadi hari yang paling hangat bagi Narthana, dalam artian begitu panas. Di bawah teriknya sang raja siang, berkali-kali dia mengusap pelipisnya yang berkeringat, menggerutu tiada henti pada kepala sekolah yang seakan tiada beban menyampaikan amanat selama hampir satu jam. Gila saja, pikirnya.

Bersama dengan Harsa yang ketika mengetahui bahwa pembina upacara kali ini adalah bapak kepala sekolah, rasanya pemuda itu menyesal karena telah menuruti Mark —ketua OSIS— untuk segera berbaris di lapangan. Tahu begini, dia realisasikan saja niatnya untuk kabur.

"Hanya itu yang bisa bapak sampaikan, di mohon untuk semua siswa bisa lebih mencermati apa yang bapak amanat kan tadi. Dan juga jangan lupa untuk selalu jaga kebersihan lingkungan sekolah kita, karena seperti yang sudah kita ketahui bahwa—"

Narthana mendengus kesal. Dia tak yakin bahwa ini akan selesai dengan cepat.

"Anjir masih dilanjut dong" celetuk Harsa yang berada di sebelahnya, kembali mengeluarkan gerutuan. "Alamat bakal tepar ini mah, udah pusing banget gua" keluhnya yang tak terlalu ditanggapi oleh Narthana. Dia pun sama pusingnya saat ini. Apalagi dia melewatkan sarapannya lagi karena terlambat bangun. Siap-siap saja dimarahi lagi nanti.

Dia menghembuskan nafasnya perlahan. Keringat dingin sudah membanjiri tubuhnya. Bahkan seragam bagian punggung dan dada pun terasa basah saat ini. Kepalanya menunduk sebentar, kemudian dibuat kembali mendongak kala pemimpin upacara memberi komando untuk hormat. Tangan kanannya diangkat dengan malas. Pak kepala sekolah pun mulai berjalan kembali menuju barisan para guru.

"Tanpa penghormatan, bubar barisan.. jalan! "

Para siswa terdengar mendesah lega sembari membubarkan diri. Mereka saling menerobos supaya bisa cepat sampai di kelas, kemudian duduk di bawah AC. Tak terkecuali Narthana. Dia sedikit kebingungan karena Harsa dan Jevo sudah tidak berada di sampingnya. Sedangkan dia masih dalam posisi berdiri, tersenggol siswa-siswi yang berjalan penuh sesak.

Alisnya berkerut kala kepalanya terasa memberat. Pandangannya pun mulai memburam, hanya terlihat bayangan mereka yang mulai meninggalkan lapangan. Terasa tak seramai tadi, namun tetap saja dia merasa tubuhnya kehilangan keseimbangan. Pandangan di depan matanya terasa berputar membuat kepalanya semakin pusing. Dan ketika tubuhnya benar-benar limbung, dia merasa seseorang datang menghampirinya, menepuk pelan pipi dan sesekali memanggil namanya.

Narthana tak begitu jelas melihat wajah itu. Tapi yang pasti, seseorang yang tengah berteriak meminta pertolongan PMR ini adalah seorang perempuan.

Dan setelahnya, Narthana tak melihat apapun lagi selain gelap yang perlahan merenggut kesadarannya penuh.

*

Matahari semakin merangkak naik hingga hampir tepat berada di atas kepala. Namun bel istirahat belum juga berdentang, tak kunjung menghapus jenuh yang menghampiri seluruh siswa. Berusaha terlihat fokus pada papan tulis yang dipenuhi abjad dan angka, mereka berkali-kali melirik jam yang di pasang di setiap dinding kelas. Disaat seperti ini mengapa rasanya waktu berjalan sangat lambat?

Tapi untuk hari ini, sepertinya kejenuhan itu tak berlaku bagi Harsa dan Jevo. Entah ini adalah sebuah keberuntungan atau justru sebaliknya, sedari tadi mereka sedang asyik bermain ponsel dan bermain game. Duduk santai di atas ubin UKS yang dingin-dingin adem. Niatnya sih menjaga teman mereka yang masih tepar belum juga bangun. Tapi selagi ada kesempatan menghindari jam pelajaran, mereka lantas memanfaatkannya dengan baik.

Angkasa dan CeritaWhere stories live. Discover now