51.Hunch

921 108 17
                                    

ANGKASA
DAN CERITA

-

Katanya, kehidupan adalah sebuah panggung pentas. Dimana setiap orang adalah pemeran utama untuk kisahnya sendiri. Sehingga kamu tidak bisa mencari peran pengganti, sebab hidupmu adalah tentang kamu.

Lantas bila begitu, apa Sena bisa meminta pada penulis untuk mengubah kisah hidupnya saja? Supaya tidak perlu ada lagi amarah maupun dendam yang mengakibatkan darah. Sehingga tidak akan ada lagi bagian dimana menunggu menjadi hal yang sangat menakutkan. Sena ingin semuanya baik-baik saja. Dia ingin segala hal yang terjadi selama ini hanyalah mimpi buruknya belaka. Bisakah?

"Luka tusukannya tidak begitu dalam, hanya saja tekanan oksigen dan darahnya memang sempat menurun. Tapi kini keadaan Narthana sudah kembali stabil. Dia akan sadar setelah efek obat biusnya sudah habis"

Saat itu Sena hanya bisa menghela napas lega. Seakan bebannya langsung terangkat begitu saja saat mendengar kabar bahwa keadaan Narthana tidak begitu mengkhawatirkan. Dokter bilang, beruntung Narthana langsung mendapat pertolongan cepat dari petugas ambulans. Karena jika terlambat sedikit saja, mungkin keadaannya sudah berbeda.

"Pa, bunda bilang papa harus makan dulu"

Sena menoleh saat putra sulungnya datang. Di tengah aksi melamun nya, Sena sedikit tersentak ketika Damar tiba-tiba saja duduk mengisi bangku kosong di sampingnya. Melihat anak itu Sena seketika tersenyum.

Kedatangan polisi waktu itu, dia tak pernah memanggil mereka. Tapi Damar, anak itu bergerak dengan cepat sesuai dengan waktunya.

"Damar, ini alamat yang Satya kasih ke papa. Kalo dalam waktu 2 jam papa belum kasih kamu kabar, tolong langsung hubungi polisi ya"

Dia sempat menitipkan pesan hari itu pada Damar sebelum dirinya pergi terburu-buru untuk mendatangi tempat yang dimaksud Satya. Sebagai jaga-jaga bila mana sesuatu yang tak diinginkan terjadi, maka mereka bisa langsung mengetahui keberadaannya.

"Iya, nanti. Papa belum lapar" jawabnya.

"Tapi bunda bilang papa harus dipaksa, biar mau"

Mendengar itu Sena terkekeh kecil. Kepribadian Damar yang sesungguhnya memang selalu membuat dia menahan gemas. Sangat cerewet, mirip Narthana.

Maka malam itu Damar segera menarik tangan Sena untuk masuk ke dalam kamar dimana tempat Narthana di rawat. Di sana sudah ada Alma yang menunggu sambil berkacak pinggang, —kesal karena suaminya itu sangat sulit untuk diajak makan sejak sore tadi.

"Demamnya baru turun tapi udah bandel gak mau makan"

Sena hanya menjawabnya dengan cengiran.

"Nanti aku olesin obat lagi, biar cepet sembuh" kata perempuan itu sambil melirik pada luka lebam di tangan kanan sang suami.

"Iya, makasih ibu dokter"

Damar seketika berdecak menatap keduanya jengah. Dia jadi menyesal karena harus duduk diantara mereka berdua.

Pagi harinya, keadaan Narthana sudah membaik. Dia siuman saat semua orang bahkan masih terlelap.

"Na..?" Sena memanggil ketika waktu itu memergoki Narthana sedang terbaring seraya menatap kosong langit-langit kamar. "Kenapa? "

Anak itu mengalihkan pandangannya pada sang ayah. Terlihat jelas bahwa sorot mata itu terlihat lebih sendu dari biasanya. Bibir tipis itupun nampak melengkung samar seakan menahan sebuah emosi.

"Takut, pa"

Sena mengerutkan kening. Dia lantas berjalan mendekat dan berdiri tepat di sebelah ranjang. Meraih satu tangan Narthana yang terasa hangat. "Takut kenapa?" Tanya dia dengan sorot khawatir.

Angkasa dan CeritaNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ