50.Gewond

796 104 16
                                    

ANGKASA
DAN CERITA

-

Satya menyeringai tipis setelah sambungan telepon terputus. Dia tertawa pelan, merasa puas karena sudah membuat Sena panik. Dia yakin pasti setelah ini laki-laki itu akan langsung menyusul kemari. Sekarang tugas Satya hanyalah menyiapkan jamuan untuk tamunya itu.

Satya menoleh, menatap Narthana yang sedang berusaha duduk. Dia nampak mencengkram dadanya seraya terbatuk-batuk. Namun berbanding terbalik dengan tubuhnya yang sudah lemah, sejak tersadar dari pingsan kemarin Narthana tiada hentinya melempar tatapan tajam pada Satya. Mencoba memperlihatkan sisi kuatnya pada laki-laki itu dengan berusaha melawan. Meski pada akhirnya dia hanya akan jatuh terjerembab, tapi dia masih ingat untuk tidak mati konyol seperti mendiang Dinda yang Satya ceritakan kemarin.

"Om ngapain nyuruh Papa ke sini?" Tanya dia dengan datar. Rambutnya yang sudah lepek dan basah oleh keringat hampir menutupi bagian matanya yang masih mengintip dengan tajam.

Melihat itu Satya kontan berdecih. Dia merasa bahwa sedari kemarin dirinya terus ditantang oleh anak kecil ingusan. "Bukannya seru kalo papamu itu bisa lihat anaknya sekarat? Lagian itu pasti jadi pertunjukkan yang mengasyikan buat dia, kamu gak usah khawatir"

Narthana menggeram rendah. Dia kembali mencengkram dadanya kala sengatan kecil kembali terasa. Bibirnya meringis pelan. "Om pikir om bakalan menang? Dan apa dengan begini adik om bakalan ikut senang? Saya malah yakin di akhirat sana pasti dia lagi kecewa karena kakaknya jadi orang yang jahat. " sinisnya.

Mendengar itu Satya menahan marah dengan mengepalkan dua tangannya. Setiap kalimat yang keluar dari mulut Narthana selalu berhasil menyulut emosinya. Pada awalnya dia pikir anak ini adalah anak lemah yang manja. Tapi ternyata dia memiliki sisi lain yang tak disangka. "Terserah kamu mau ngomong apa! Tapi yang pasti saya peringati sama kamu agar tidak macam-macam jika mau papamu selamat. Dan saya harap kamu gak akan mati duluan sebelum saya yang bunuh kamu nanti, jadi persiapkan diri mulai dari sekarang" kalimat itu menjadi yang terakhir sebelum Satya melangkah keluar dan menutup pintu ruangan pengap itu dengan rapat. Meninggalkan Narthana yang kembali terbatuk hebat seraya menahan sakit yang semakin menjadi.

Di sisi lain, mobil yang dikendarai Sena melaju dengan kecepatan di atas rata-rata di antara jalanan sepi yang tidak banyak dilalui kendaraan lain. Tempatnya cukup pelosok, bahkan tidak ada satupun rumah yang berpenghuni di sekitar sini. Sena jadi baru tahu bahwa kota Jakarta memiliki sisi yang berbanding terbalik dari yang diketahui banyak orang.

Sekitar 10 meter di depan akhirnya Sena menemukan sebuah rumah tua yang sesuai dengan tempat yang disebutkan oleh Satya. Keadaan depannya tampak sepi, seperti tidak ada siapapun di sana. Meskipun pada awalnya ragu, tapi Sena kembali ingat pada Narthana yang harus dia selamatkan sehingga dia pun memberanikan untuk masuk.

Pintu kayu yang sudah sedikit rapuh menciptakan derit ketika dia buka. Suasana yang sepi dan gelap membuat perasaan Sena was-was saat berjalan semakin dalam. Dia menatap sekitar, memeriksa setiap ruangan yang dilewatinya. Dan sampai di ujung, Sena menemukan sebuah pintu kayu yang terlihat kokoh dibanding yang lain. Sena yakin jika memang benar ini tempatnya, pasti Narthana di sekap di kamar yang ini.

Dia menekan-nekan handle pintu dengan sedikit tenaga, meski sia-sia sebab pintu terkunci dengan rapat. Kepalanya menoleh kanan kiri melihat situasi. Takut-takut bila Satya datang tiba-tiba.

Merasa situasi aman, dia segera mengambil langkah ke belakang. Bersiap pada posisi akan mendobrak pintu. Meski Sena tak yakin sekuat apa pintu ini untuk menahan dorongannya, tapi tidak ada salahnya untuk mencoba. Dan dia berharap jika Narthana memang benar-benar ada di dalam dalam keadaan baik-baik saja.

Angkasa dan CeritaWhere stories live. Discover now