14.Amih Apih

958 97 3
                                    

ANGKASA
DAN CERITA

-

Senja telah tiba, melukiskan warna jingga pada kanvas semesta. Jam menunjukkan pukul 4, dan Narthana baru pulang bersama si Merah yang selalu menjadi teman perjalanannya. Dia berbelok untuk masuk ke dalam pekarangan rumah yang kebetulan gerbangnya tak ditutup.

Selepas kejadian kecil tadi, akhirnya Narthana memutuskan untuk mengantar Ghea pulang. Rencana mengerjakan tugas pun harus diundur karenanya. Ya dia sih tak masalah, toh memang sedari awal Narthana sedang malas. Namun yang menjadi pikirannya, kenapa Ghea sebegitu takutnya hingga menangis tadi? Padahal dia tak begitu ngebut saat menjalankan motornya. Hanya sedikit di atas rata-rata, itupun tak sampai bisa menyalip 2 mobil truk sekaligus. Narthana kurang berani.

Ghea tak mengatakan apa-apa tadi selama di perjalanan, selain berpesan untuk menjalankan motornya pelan-pelan saja. Ya Narthana turuti. Sebab dia tak mau membuat anak orang menangis lagi karena ulahnya.

Narthana pun memarkirkan si Merah kesayangannya setelah benar-benar masuk ke dalam pekarangan rumah. Namun dia baru tersadar akan sebuah mobil yang juga terparkir di depan garasi. Serasa tak asing tapi Narthana tak ingat ini milik siapa. Daripada semakin penasaran, pada akhirnya dia pun melangkah masuk ke dalam rumah setelah memastikan mesin motornya telah mati.

Dia menatap sekeliling rumah sembari terus melangkah. Lalu samar-samar terdengar sebuah percakapan dari arah ruang tamu yang terhalangi oleh tembok. Dia berjalan mendekat, sedikit mengintip kala suara tak asing yang sedang berbicara dengan Sena semakin jelas masuk dalam rungu nya.

"Loh? Amih? Apih? " gumamnya pelan, menyerukan panggilannya untuk sepasang suami-istri yang telah masuk usia senja itu. Ayah dan ibu dari Sena, dalam kata lain mereka juga adalah nenek dan kakeknya.

"Udah mendesak kayak gini kamu baru bilang? Astaghfirullah, Sen. Selama ini kamu anggap ibu atau enggak sih? "

Terlihat sang ayah menunduk mendapat sentakan dari Amih, yang jelas sekali tengah menahan kesal. "Maaf, Bu. Sena gak bermaksud seperti itu, tapi keputusan Sena ini pun juga mendadak" ujarnya tanpa mengangkat kepala sedikitpun.

Narthana mengerutkan dahi tak paham. Mereka ini sedang membicarakan apa sebenarnya hingga membuat Amih sebegitu kesalnya?

Amih mengambil napas perlahan untuk meredakan emosi, dibantu Apih yang saat ini tengah mengusap punggungnya. Amih berdecak sebal, "anakmu itu loh, bikin jantungan orang tua aja kerjaannya" gerutu Amih.

"Iya-iya sabar. Jangan marah-marah, nanti darah tinggimu kumat" kata Apih, persis sekali seperti laki-laki yang tengah membujuk kekasihnya saat sedang ngambek. "Lagipula benar kata Sena. Kita gak boleh membiarkan mereka begitu terlalu lama, takutnya mengundang fitnah. Mending semuanya dilakukan dalam waktu dekat, karena lebih cepat lebih baik"

Sena menatap Apih kemudian mengangguk kecil.

"Jadi, kapan kamu mau lamar perempuan itu? "

"Besok, Pak"

"Hah?! "

**

Malam hari tiba. Jarum jam menunjuk angka 9 pas. Sudah cukup larut dan waktunya untuk menjemput mimpi. Namun agaknya rasa kantuk belum mau mendatangi Narthana. Terbukti matanya masih segar menatapi langit malam yang tampak gelap. Satupun bintang tak nampak saat itu, hanya bulan yang bersinar temaram tertutupi awan.

Angin berhembus cukup kuat. Kebiasaan Narthana yang tak pernah mau mengenakan jaket maupun baju panjang meski kulitnya telah berkali-kali menerima usapan dingin. Dia akan tetap berdiri tanpa beranjak sampai dia bosan sendiri. Kecuali jika..

Angkasa dan CeritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang