53.Blue

837 77 0
                                    

ANGKASA
DAN CERITA

-

Jika segala hal di dunia ini bisa kau atur sendiri, pasti semua orang takkan pernah mau menerima hal menyakitkan. Mereka akan terus memilih bahagia tanpa menambahkan sedikitpun perisa menyedihkan. Memang terdengar menyenangkan, tapi dengan itu sampai kapanpun semua orang tak akan pernah bisa mendapat pelajaran.

Berkali-kali Sena berpikir bagaimana jadinya bila dia mampu mengendalikan waktu, dia pasti tak akan membiarkan detik bergerak sedikitpun. Membiarkan utuh raga yang akan terkubur dalam tanah itu supaya bisa terus dia dekap sampai kapanpun.

Tapi sejatinya dia hanyalah sebuah ciptaan yang tak memiliki hak untuk memegang kendali takdir. Hingga akhirnya mengikhlaskan tetaplah menjadi kodrat setiap manusia.

Sena ingat, tidak semua bahagia adalah tawa, terkadang pergi dan lepas dari belenggu adalah hal yang paling di tunggu.

"Insyaallah Nana akan bahagia, pa" adalah salah satu kalimat yang paling Sena ingat hingga detik ini.

"Jika kamu bahagia, papa akan mencoba ikhlas, Na" sedangkan kalimat itu adalah salah satu yang paling sering Sena ucapkan ketika lagi-lagi dia teringat pada sosok Narthana.

Sejak kedatangan mobil jenazah ke pelataran rumah malam tadi, dan dilanjut dengan menyolatkan di keesokan harinya, sampai kemudian dimakamkan tepat di samping peristirahatan mendiang sang istri, Sena tidak sedikitpun mengeluarkan air mata.

Memang benar, berusaha tegar ternyata sangat menyulitkan. Tapi ternyata pada akhirnya Sena pun mampu, meski hatinya berkali-kali serasa perih, namun dia yakin bahwa terus menangisi kepergian Narthana hanya akan memberatkan langkah anak itu nanti. Sena tak mau memberi beban lagi pada putranya.

Ceklek

Amih terdiam di ambang pintu ketika melihat punggung tegap itu nampak lesu dari belakang. Baru tiga hari berlalu, sudah banyak hal yang berubah dari semua orang. Salah satunya adalah Sena, anaknya itu tampak lebih murung meski tak pernah lagi menangis. Selalu lebih betah diam di kamar dibanding berkumpul dengan yang lain.

Wanita itu menghela napas pelan seraya menutup pintu, berjalan mendekati Sena yang sedang duduk di pinggir ranjang. Di pangkuannya terdapat sebuah tape recorder juga sebuah buku note kecil yang terbuka. Amih tahu pasti siapa pemiliknya.

"Sen, udah makan? Ibu tadi ada masak sayur asem sama ikan asin"

Pria itu kontan menegakkan tubuhnya sejak tepukan pertama di bahu. Dia melepaskan headset dan beralih menatap sang ibu. "Iya bu? Kenapa?"

Amih terdiam melihat wajah sayu yang kini dihiasi oleh kantung mata itu. Sedikit banyaknya dia sungguh tak tega bila melihat Sena yang seperti ini. Orang bilang, seorang anak yang kehilangan orang tua memang menyakitkan, tapi tidak lebih menyakitkan dibanding orang tua yang kehilangan seorang anak. Karena buktinya bisa dilihat dari sekacau apa Sena saat ini.

"Makan yuk?" Tanya Amih mengubah kalimat pertamanya tadi menjadi sebuah ajakan. Karena dia yakin bahwa sejak siang tadi Sena belum menyentuh nasi sedikitpun.

Sena tampak menggeleng seraya tersenyum tipis, "belum laper, bu. Sena makan nanti aja" kata dia.

Setelahnya Amih memperhatikan Sena yang kembali memasangkan headset di telinga dan kembali memutar rekaman yang sama sejak siang tadi. Tangan keriput itu seketika terangkat untuk mengusap bahu lebar sang anak dengan lembut.

"Itu apa?" Tanyanya basa-basi seraya mendudukkan diri di samping Sena.

Mendengar pertanyaan dari sang ibu, Sena sontak tersenyum dan memperlihatkan dua benda yang sedari tadi dia pegang. "Ini rekaman punya Nana, bu. Coba deh, ibu dengar" dia lantas menyerahkan satu bagian headset supaya dipakai oleh Amih.

Amih pun mendengarnya dengan seksama. Tiap-tiap kalimat yang terekam membuat hatinya seketika kembali perih ketika mengingat bahwa si pemilik suara tak akan lagi pernah bisa terjangkau oleh penglihatannya. Membuat rindu yang semula bisa dia tahan kini kembali muncul semakin ke permukaan. Di kalimat terakhir, Amih segera mengusap air mata yang tiba-tiba turun tanpa permisi. Kemudian melepas benda yang menyumpal telinganya seraya tersenyum kecil.

"Terus itu apa?" Tanyanya seraya menunjuk pada buku note kecil di tangan Sena.

"Kalo ini..." Sena membuka buku langsung ke bagian tengah-tengah, dimana hanya itulah satu-satunya tulisan yang ada. "Waktu itu dia bilang kalo dia pengen ngasih nama buat adiknya nanti. Karena belum tahu jenis kelaminnya apa, jadi dia nulis beberapa rangkaian nama di sini"

Buat nama, pilih satu!

(Cewek)
•Alka Asha Savita
Gistara Nila Qirani

(Cowok)
•Bisma Arkananta Dananjaya
Kavin Natha Ganendra

Jemarinya mengelus perlahan tiap tulisan tangan itu seraya tersenyum. Ternyata Narthana memang sangat antusias untuk menyambut kehadiran adik pertamanya nanti. Tapi lagi-lagi ada satu hal yang sangat di sayangkan. Bayi itu akan lahir disaat orang yang paling menunggunya telah tiada.

Amih hanya bisa mengulum bibirnya supaya tidak mengeluarkan isakan tangis. Dia sungguh tidak kuat bila harus berlama-lama mengingat cucunya.

"Bu, Nana itu anakku. Anak yang aku rawat dari kecil dengan penuh kasih sayang. Anak yang selalu aku jaga tawanya supaya tidak hilang. Anak yang mati-matian aku pertahankan karena dialah alasan aku bertahan. Tapi bu, aku udah kehilangan satu pijakan, aku lupa bagaimana caranya berdiri tegak kalo satu pijakanku udah hilang. Aku juga udah kehilangan satu alasan supaya aku bertahan. Kalo satu aja yang hilang udah sekacau ini, gimana jadinya kalo aku kehilangan semuanya, bu? "

Pria yang sudah menginjak kepala empat itu menunduk, membiarkan air matanya menggenang dan menetes. Sena sudah menahan ini sejak tiga hari yang lalu, tapi kali ini dia sungguh tak bisa lagi kuat menahannya lebih lama.

"Seumur hidup aku gak pernah punya bayangan tentang ini. Ditinggal pergi oleh anak sendiri ternyata benar-benar menyakitkan, bu. Jika saja manusia bisa memilih jalan hidup, aku gak akan pernah mau ada di detik ini sampai kapanpun" ujarnya.

Karena pada kenyataannya, manusia terlalu sering menggunakan kata andai dan jika dalam menghadapi segala takdir.

Karena pada kenyataannya, manusia terlalu sering menggunakan kata andai dan jika dalam menghadapi segala takdir

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.
Angkasa dan CeritaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora