47.Record

552 78 5
                                    

ANGKASA
DAN CERITA

-

Selama ini salah satu hal yang Narthana mengerti tentang kehidupan, yaitu mengikhlaskan. Baik mengikhlaskan apa yang sudah terjadi, maupun mengikhlaskan apa yang telah pergi. Semua hanya perihal waktu dan cara menjalani saja. Dan Narthana telah mempelajari hal itu sejak dulu. Seperti mengikhlaskan kepergian Mama dan mengikhlaskan penyakit yang bersarang di tubuhnya bagaikan sebuah bom waktu. Narthana tak akan pernah tahu kapan waktu berhenti di titik nol kemudian meledakkan semuanya.

Kata Amih, hidup itu memiliki banyak sekali definisi, dan sebagian orang mengartikan hidup sebagai datang dan pergi. Kita tak akan tahu akan berada pada fase yang mana. Sebab di suatu waktu kita akan menjadi yang datang di kehidupan seseorang. Atau mungkin menjadi yang pergi dari kehidupan seseorang. Seperti yang tadi, semua hanya perihal waktu.

Tapi Narthana tak pernah tahu bahwa membicarakan hal tentang itu pada sang ayah ternyata akan berakhir seperti ini. Setelah obrolan singkat mereka waktu itu, Sena jadi nampak menahan marah dan sangat jarang menemuinya. Apakah kalimat yang dia ucapkan waktu itu begitu menyakiti hati Sena sehingga ayahnya tak mau lagi berbicara dengannya?

"Pa, kalo misalkan umurku lebih pendek dari Papa. Jangan pernah kecewa ya. Papa harus belajar bahagia tanpa aku nanti"

Raut wajah Sena tiba-tiba berubah dalam seketika. "Maksud kamu?"

"Kita gak akan pernah tahu takdir itu seperti apa. Tapi setiap orang pasti akan melewati fase kehilangan dan meninggalkan. Aku cuman gak mau Papa nanti terlalu larut sedih dan berhenti bahagia"

Sena terdiam. Hatinya mencelos mendengar tiap perkataan sang anak. Padahal apa yang diucapkan oleh Narthana itu memang benar adanya. Setiap orang pasti akan menghadapi yang namanya kehilangan ataupun meninggalkan. Tapi selama ini Sena selalu berharap bahwa kematian akan menjemputnya lebih dulu daripada sang anak. Dia tak akan pernah bisa menerima kehilangan yang begitu dalam untuk yang kesekian kalinya. Sehingga entah mengapa Sena merasa tidak terima atas perkataan yang Narthana lontarkan barusan.

"Kamu udah nyerah, Na?"

Narthana menggeleng atas pertanyaan Sena. Karena tak sekalipun dia ingin menyerah untuk mempertahankan hidup bahagianya. "Bukan gitu, Pa—"

"Padahal selama ini Papa selalu berjuang buat kesembuhan kamu biar kamu bisa sehat kayak dulu lagi. Biar kamu bisa pulang dan menikmati hari kamu kayak biasanya. Tapi kamu...Na, yang Papa mau sekarang adalah kamu ikut berjuang bersama Papa buat sembuh, apa itu gak bisa? Apa kamu gak bisa berjuang sekali lagi sama Papa?"

Sena tak tahu ada apa dengan emosinya sekarang. Tapi mendengar ungkapan Narthana tadi sungguh membuat hatinya sakit. Seketika dia teringat akan ancaman Satya juga ucapan dokter Stellar secara bersamaan. Semua itu begitu mengganggu hati dan pikirannya akhir-akhir ini.

"Mas" Alma mencoba melerai situasi yang berubah menjadi tegang itu. Dia yang sedari tadi terdiam dan terkejut akhirnya berdiri. Namun belum sempat mengatakan apapun lagi Sena langsung bangkit dan keluar begitu saja dengan langkah yang begitu tegas. Meninggalkan perasaan sedih dan luka goresan di hati Narthana.

2 hari berlalu sejak hari itu, Narthana tak pernah lagi mendapati Sena datang mengunjunginya. Jika pun iya, pasti di saat Narthana sedang terlelap. Dia mengerti akan kesedihan Sena saat mendengar ucapannya. Tapi itu bukan semata-mata ia ingin menyerah, sungguh. Narthana hanya ingin baik Sena, Amih, Apih, bunda maupun Damar akan menerima bila nanti dia akan dijemput lebih dulu dibanding mereka. Narthana hanya ingin mereka tidak larut dalam kesedihan akan kepergiannya. Meski Narthana tak bisa memastikan itu, tapi dia tak mau bila waktunya benar-benar tiba mereka tak bisa melepasnya dengan mudah.

Angkasa dan CeritaWhere stories live. Discover now