CERPEN : AURORA

3.7K 470 18
                                    

Part 9
_____

Setelah seharian kemarin Ardan menemaninya, Aurora harus merelakan Ardan kembali bekerja seperti biasanya. Ia tak bisa melarang. Tak ingin menjadi egois.

Karena bosan sendirian di rumah, apalagi Aca belum pulang sekolah. Aurora memutuskan keluar jalan-jalan, mengenderai pinky tak tentu arah dengan pikiran yang sejak kemarin menganggunya.

Bukan lagi soal perasaan Ardan. Karena Aurora tak lagi meragukan perasaan suaminya itu.

Kini tergantikan dengan perkataan Alisha yang mengusik pikirannya. Alisha yang menyinggung dirinya dengan terang-terangan jika Ardan bekerja terlalu keras sementara dia tak melakukan apapun.

Kalau saja kartu ATM Aurora tak diblokir ...

Tapi tetap saja, tidak selamanya ia bergantung pada uang orang tuanya, bukan?

Aurora memutuskan singgah di coffee shop favoritnya karena jika ke kafe Shiro, jaraknya lumayan jauh. Nanti, ia terlambat menjemput Aca.

Setelah memesan, ia duduk di bangku tinggi. Meja panjang yang berhadapan langsung dengan dinding kaca. Kedua kaki Aurora menjuntai ke bawah, berayun pelan seraya tatapannya terpekur pada layar ponsel. Mencari lowongan kerja. Menoleh sekilas saat pesanannya diantar, ia kembali mengamati ponselnya.

Kalau melamar kerja di kantor Papi, Aurora tidak menginginkan hal tersebut. Aurora lupa jika ia masih marah pada Papi.

Kembali berpikir.

Apa ia kerja di showroom milik Abi saja? Tapi ....

Aurora tersentak saat merasakan kehadiran seseorang di sampingnya, ia memicingkan mata galak menatap sosok Arsen yang mengulas senyum lebar.

"Nyari kerjaan?" tanyanya mengendikkan dagu ke arah ponsel Aurora. Aurora langsung menyimpan ponselnya dengan posisi layar di bawah. "Nyesel kan nikah sama laki-laki miskin?"

Arsen tertawa, lalu duduk di bangku kosong yang ada di sebelah Aurora. Menaruh satu cup kopi di atas meja. Posisi duduknya miring, menghadap ke arah Aurora dengan menaruh sikut kirinya di tepi meja.

Aurora tidak mengacuhkan Arsen, ia menyeruput minuman di hadapannya.

"Bercanda kali, Ra." Arsen menyengir saat Aurora meliriknya tajam. Arsen menghela nafas panjang. Seraya mengetukkan jarinya di tepi meja. "Ra, kita selalu dipertemukan secara gak sengaja. Itu tandanya apa, ya?"

"Tandanya biar Mas Arsen gamon," ejek Aurora, kini memasang ekspresi mengejek membuat wajah Arsen berubah masam. "Bukan kita gak sengaja ketemu. Mas Arsen ngikutin aku deh."

"Enak aja. Siapa juga yang ikutin lo bocil?" Arsen tersentak dan memekik saat kursinya ditendang Aurora membuatnya hampir saja jatuh. Matanya melotot menatap Aurora yang kini pandangannya datar.

"Bercanda kali, Mas." Lalu tersenyum sinis. Kemudian membuang pandangannya. Arsen mendengus kesal, memperbaiki posisi duduknya.

"Kalau lo mau kerja, di tempat gue aja. Gue butuh karyawan."

"Di mana?" Aurora sedikit tertarik. Saat ini pikirannya dipenuhi, 'pokoknya ia harus bekerja!' Agar meringankan beban Ardan. "Eh kalau di club-nya Mas Arsen aku gak mau. Berarti di restonya Mas, kan?"

Arsen tak menyangka jika Aurora akan tergiur dengan tawarannya. Harusnya ia tak lupa jika sikap Aurora memang kadang mirip anak kecil. Mudah dialihkan.

"Di resto gue. Jadi juru parkir." Ekspresi Aurora berubah kesal membuat Arsen tertawa. Merasa gemas melihat Aurora. Layaknya anak kecil yang sedang marah.

CERPENWhere stories live. Discover now