1. MSU - Menolak Perjodohan

20K 1K 3
                                    

Sayup-sayup terdengar selawatan dari ma'had seberang memperlihatkan banyak santri yang tengah melakukan rutinitas malam mereka. Sementara di ndalem tepat di sebuah ruangan bernuansa putih itu, samar-samar pula terdengar perbincangan kedua lelaki di sana.

“Sekarang keputusannya ada di tanganmu, Al.” Farhan. Lelaki bersongko putih itu berucap dengan suara lirih menatap dalam lelaki yang kini duduk berseberangan dengannya.

Tak terdengar sahutan dari yang diajak bicara. Lelaki yang kerap disapa Al itu hanya diam dengan kepala tertunduk mencerna pernyataan Farhan barusan. Pertanyaan juga pernyataan yang sama selalu menjadi topik pembicaraan keduanya akhir-akhir ini. Farhan yang terus merayu, sementara Alfatih linglung dengan keputusan yang tak menentu.

“Fatih,” panggil Farhan sekali lagi. Ia ingin memastikan jawaban sang adik tanpa mau menebak-nebak isi kepala Alfatih hanya dengan melihat raut yang selalu datar ditampilkan.

“Pikirkan sekali lagi, kamu sudah dewasa. Mas nggak mau memaksa kamu dalam hal apapun. Tapi, keputusanmu juga sangat perlu jadi penentu bagaimana ke depannya.”

Sejenak tak mendapat balasan, Farhan pun memutuskan untuk pergi dari ruangan itu. Namun, berhenti tatkala suara berat adiknya menyahuti.

“Fatih nggak mau, Mas.”

Farhan menyunggingkan seulas senyum tipis, kecut tergambar. Berbalik menatap lawan bicara. “Apa yang membuatmu ragu, Al? Apa mbak Anisa kurang shalihah untuk menjadi istrimu?”

“Bukan dari segi shalihah dan tidaknya yang Fatih persoalkan. Lagipula perkara shalih-shalihahnya seseorang hanya Allah yang pantas menilai,” ucap Alfatih.

“Lalu?” tanya Farhan menghadap penuh pada sang adik.

“Aku merasa ada yang aneh dengan keluarganya,” balas Alfatih dengan hati-hati. Takut salah bicara dan Farhan salah paham kepadanya.

“Apa maksudmu berkata begitu?” tanya Farhan membuat lelaki usia hampir 23 tahun itu sejenak terdiam. “Bukankah niat mereka baik mau menyandingkan anaknya denganmu? Mbak Anis loh, Al. Dia gadis baik-baik, pendidikannya juga nggak  jauh berbeda denganmu, sama-sama lulusan pesantren. Bahkan kamu nyantri di pesantren kiai Dahlan ayahnya!”

“Itu maunya abi, Mas. Lagipula nggak ada kemauanku mondok di sana. Padahal ada pesantren sendiri, abi malah begitu.”

“Heh!” tegur Farhan kala Alfatih menggerutu.

Afwan, Mas.” Alfatih menekuk wajah.

Farhan menghela napas singkat. “Sudahi yang itu. Sekarang jawab yang benar! Hal apa yang kemudian membuatmu ragu sampai seteguh ini menolak mbak Anisa?”

“Aku bukannya menolak mbak Anisa, Mas Farhan,” ujar Alfatih tanpa ekspresi.

“Menolak perjodohan itu sama saja kamu menolak mbak Anisa.  Maka dari itu aku bertanya, mengapa?!” pertekan Farhan. “Cepatlah! Sebentar lagi sudah mau masuk waktu salat Isya'. Mas masih ada jadwal ngajar setelah ini.”

“Buru-buru banget, Mas?” tanya Alfatih.

“Jangan banyak menyita waktu, Fatih. Kalau nggak ngomong juga, tak Mas bilangin ke abi kalau kamu terima lamaran itu!” ancam Farhan.

“Ih, jangan dong, Mas!” pekik Alfatih.

“Ya sudah, ngomong kamu!”

“Iya-iya, dengarin baik-baik!” pungkas Alfatih, pasrah, lalu mendekati Farhan dan berbisik padanya.

Sesaat mendengarkan bisikan Alfatih, Farhan yang mulanya tampak kesal malah berubah tegang. Terlihat jelas dari bagaimana rautnya saat menyimak. Entah apa yang dimaksudkan Alfatih, Farhan masih berusaha mencerna segala hal yang didengarnya, bahkan semakin tak percaya setelah hampir menemukan titik terang alasan Alfatih menolak lamaran itu.

“Serius kamu, Al?” tanya Farhan masih tak menyangka dengan apa yang baru saja dikatakan sang adik, Alfatih pun mengangguk pelan membenarkan. “Tapi, bagaimana kamu tahu?”

“Dua hari yang lalu aku mendengarnya langsung, saat ummi menyuruhku mengantarkan barang kiai Dahlan,” jawab Alfatih, mantap.

Farhan mangut-mangut, seolah tak salah lagi bahwa apa yang disampaikan Alfatih adalah sebuah kebenaran. Lagipula mana mungkin, jika adiknya itu pandai berbohong. Tetapi, bisa jadi juga Alfatih mengarang cerita hanya untuk mengelak dari perjodohan itu, pikir Farhan.

“Kamu nggak ngarang toh, Al?” selidik Farhan menatap curiga.

Alfatih meringis dan berkata, “Maka dari itu aku sekarang bingung, Mas. Gimana caranya aku menyampaikan kepada abi agar aku nggak  dibilang mengarang cerita?”

“Oh, berarti kamu memang ngarang!” tuduh Farhan.

Astagfirullahal adzim, Mas. Aku serius.” Alfatih menggelengkan kepalanya pelan sembari mendaratkan bokongnya di sofa empuk itu.

Berbeda dengan Farhan terus saja bertanya-tanya akan hal yang kejelasannya masih ia ragukan.
Muhammad Zayn Alfatih. Lelaki tampan yang kerap disapa sebagai ustadz muda di pesantren yang dipimpin oleh kiai Ahsan─lelaki paruh baya yang disebutnya abi. Tumbuh di lingkungan agamis yang di dalamnya berdiri sebuah majelis besar dan terkenal di masyarakat tidaklah muda bagi Alfatih, kurang lebih sejak 20 tahun lalu hingga di usia sekarang kehidupan Alfatih dan keluarga selalu tak lepas dari sorotan media, meliput beberapa data-data yang kadangkala menimbulkan keresahan tersendiri bagi mereka.

Tentu yang dipikirkan Alfatih, ada sesuatu dibalik menguaknya berita itu terliput, dan kejanggalannya bermula sejak kiai Ahsan memimpin pesantren.

Kini lewat 20 tahun silam, di usia yang akan menginjak angka 23 tahun  Alfatih masih berpendidikan di salah satu kampus kota kelahiran. Melekat dengan gelarnya sebagai seorang ustadz dia mengambil jurusan ilmu Qur'an dan Tafsir, sejalan dengan aktivitasnya mengajar kitab dasar para santri di pesantren As-Salam.
Seperti hari-hari sebelumnya pulang ke pesantren dengan membawa tumpukan tugas dari dosen tak kalah memberatkan Alfatih walau tak heran baginya yang tengah berada di semester akhir. Namun, bukan itu saja, saat perjalanan pulang Alfatih kembali disapa ujian tanpa persiapan membuat suasana hatinya cukup buruk.

“Apa iya aku harus terima lamadan itu? Tapi, bukankah dengan begitu sama saja aku membiarkan kelinci ini diterkam habis oleh macan rakus? Lalu dengan menolak juga harus dengan alasan apalagi?” monolog Alfatih tiba-tiba teringat lamaran kiai Dahlan tempo hari. Ini keputusan penting bagi hidupnya terlebih eksistensi pesantren ini kedepannya yang lebih utama Alfatih pikirkan.

Antara pilihan menerima dan menolak. Sejauh ini Alfatih belum memikirkan cara yang tepat menyelamatkan selain mengakui sebuah fakta yang sudah lama disembunyikan. Dilema menyerang!

Di tengah kegundahan hati dalam diam pun Alfatih lirih meminta kemudahan, sampai kedatangan sebuah mobil dari gerbang pesantren mengalihkan atensinya yang tak jauh berdiri di depan ndalem. Disusul kemunculan abi Ahsan dan ustadz Rizal menyambut tibanya sepasang suami istri itu dengan senyum ramah.

Tak lama seorang gadis berwajah oval turun dari mobil dengan mengenakan kerudung biru muda lengkap dengan gamis berwarna senada. Tatapannya menelusuri setiap penjuru tempat yang tampak baru baginya. Berbeda dengan Alfatih, matanya menyipit sesaat kemudian membulat sempurna kala mengenali tamu abinya sore ini.

“Dia di sini?” tanya Alfatih lekat menatap ke arah gadis tadi.

________________________

Note :
1. Afwan : Maaf/sama-sama (Bhs. Arab)
2. Aseef : Saya minta maaf (Bhs. Arab)

Mahabbah Sang Ustadz (End) Where stories live. Discover now