43. MSU - "Kamu Berharga"

6.3K 498 8
                                    

Setelah berganti pakaian Alfatih kembali ke kamarnya dan di sana ia tak mendapati Yumna. Mungkin saja masih di kamar mandi, pikirnya. Jam telah menunjukkan pukul 10 malam, dan Alfatih sudah 20 menit menunggu di sana. Cukup lama hingga rasa kantuk mulai menyerang, tetapi Alfatih berusaha mengalihkan perhatian dengan membaca sebuah buku di sisi tempat tidur.

Lelaki berkaus hitam berlengan pendek itu tampak fokus dengan bacaannya. Namun tak lama perhatiannya tertuju ke arah seberang begitu pintu kamar mandi terbuka menampilkan Yumna dengan gamis merah muda melekat di badannya, rambut gelombangnya terurai indah melampaui kedua bahu.

Meski bukan sekali Alfatih mendapatinya tanpa kerudung, tak dapat berbohong kali ini Yumna terlihat jauh lebih anggun membuatnya terkesima, hampir-hampir tak mengenali sosok di hadapannya saat ini.

Astagfirullah. Ujian apa lagi ini?” bisik Alfatih dalam hati seraya menundukkan pandangan.

Sebagai lelaki normal, Alfatih tentu tertarik dengannya apa lagi Yumna telah halal untuknya. Bagi Alfatih Yumna memiliki daya tarik tersendiri, dan dia  tak rela itu terlihat di mata lelaki asing.

“Ustadz sudah lama?” Yumna membuka suara bertanya, berdiri dengan canggung di hadapan suaminya.

“Lumayan,” jawab Alfatih singkat dan jelas. Matanya fokus pada buku tebal itu, tetapi tidak dengan jantungnya yang berdentam tak karuan.

Sesaat keduanya terdiam. Berbeda dari Alfatih yang tampak sibuk dengan bacaannya, Yumna cenderung bingung di tempatnya memikirkan cara untuk menyampaikan kebohongan foto yang mengundang kesalahpahaman.

“Apa dia bakal percaya? Tapi, gimana kalau nanti dia nganggapnya aku ngarang cerita?” Yumna bertanya-tanya dalam hati.

Alfatih melirik sekilas kemudian menegur, “Apa nggak kesemutan berdiri terus?”

“Boleh saya duduk?” tanya Yumna.

Hanya anggukan sebagai balasan. Yumna semakin tak yakin Alfatih akan mau mendengarkannya, hal itu secara alamiah membuatnya duduk dengan jarak cukup di antara mereka.

“Bagaimana sekolahmu?” Alfatih bertanya.

Yumna melirik. “Baik, Ustadz. Semuanya lancar.”

Alfatih mengangguk singkat. “Nggak ada masalah, ya? Tapi, kok, saya malah dapat kabar kamu yang nggak baik-baik saja selama di madrasah?”

“Siapa yang bilang begitu?” Yumna bertanya balik.

Alfatih meletakan buku di sampingnya, lalu menjawab, “Nggak penting kamu tahu siapa yang bilang. Jelasnya kabar itu sampai ke telinga saya, dan kamu nggak harus bersikap sampai segitunya.”

“Kenapa, Tadz? Merepotkan?”

“Iya. Makanya cukup saya yang kamu repotkan, jangan orang lain di luar sana. Nggak seharusnya ketika ada masalah di dalam rumah itu dibawa keluar rumah, bisa jadi bahan pembicaraan publik,” balas Alfatih.

“Sebaliknya, Ustadz juga begitu!” pungkas Yumna dengan suara rendah.

Alfatih mengerutkan kening. “Kok, saya?”

“Kan, Ustadz yang duluan menjauhi saya, ummi juga nyadar tentang itu. Ustadz tiba-tiba diam kayak batu es yang minta digetok, terus saya bisa apa ketika ditanya? Saya nggak tahu alasan Ustadz menjauh,” balas Yumna dengan mata berembun. Cairan itu berkumpul di pelupuk, tetapi Yumna bertahan untuk tidak menumpahkannya saat ini.

Mahabbah Sang Ustadz (End) Where stories live. Discover now