6. MSU - Api Kebencian

7.8K 559 0
                                    

Setibanya di ndalem Yumna, Aira bersama Syila  mengucap salam. Tepat di mana ketiganya disambut balasan salam oleh penghuni ruang depan ndalem. Setelahnya Syila dan Aira dipinta untuk meninggalkan tempat tersebut hingga tersisa Yumna bersama ketiga penghuni inti di sana.

"Kenapa mereka harus pergi?" Pertanyaan pertama terlontar dari Yumna setelah beberapa saat terdiam.

"Karena yang dipanggil itu kamu, bukan mereka!" sahut Alfatih meliriknya dingin.

Yumna tak merespons Alfatih, ia kembali bergeming canggung di hadapan mereka.

"Yumna tahu, kenapa Ummi panggil kemari?" tanya ummi Rifah. Yumna yang merasa terintimidasi oleh tatapan ketiga orang di hadapannya hanya diam tak berkutik. Sesekali ia menggeleng sebagai jawaban pertanyaan ummi barusan.

"Jangan diam saja, Ummi bertanya padamu!" sahut Alfatih menegurnya.

"Maaf, saya nggak tahu." Yumna masih menunduk dalam.

Ummi mengembus napas berat lalu mengeluarkan sesuatu dari balik badannya. Melihat benda yang dikeluarkan ummi sontak membuat Yumna melotot dan berdiri dari tempat duduknya.

"Itu," gumam Yumna.

"Jaga sopan santunmu, duduk kembali!" titah Alfatih meliriknya semakin tak suka.

"Jangan membentaknya, Al!" tegur Farhan pelan.

Yumna yang mendapat bentakan Alfatih kembali menurut. "Maaf."

"Apa benar ini punyamu, Nduk?" tanya ummi lembut. Yumna terdiam.

"Memangnya punya siapa lagi, jika bukan dirinya?" ujar Alfatih lagi.

"Alfatih," sebut Farhan menegur sang adik.

"Maaf, Bu Nyai. Itu memang punya saya." Yumna berucap pelan.

Ummi kembali mengembus napas singkat lalu bertanya, "Nduk, kamu tahu, kan, bagaimana aturan di pesantren ini?"

Yumna kembali menunduk dalam. Baru kali ini ia diintrogasi dengan begitu tegas dan sudah pasti membuat nyalinya menciut. Apalagi saat mencuri pandang pada Alfatih yang masih saja mengintimidasinya dengan tajam seolah hendak melahapnya hidup-hidup. Tergurat api kebencian di mata ustadz muda itu.

"Jangan terus-terusan diam begitu, iya jawab iya! Kalau nggak tahu biar nanti dikasih tahu, jangan ketika diam tidak berguna bertindak malah semakin menyusahkan!" celetuk Alfatih menyinggung.

Mendengarnya sontak membuat Yumna mengepal kuat, ia meremas kasar kain gamisnya tak kuasa mendengar perkataan yang begitu pedis dari mulut Alfatih. Air matanya hendak luruh. Namun, terus Yumna bendung di pelupuk, menunduk sedalam mungkin dengan batin menggerutu kesal, sebegitu hinakah dirinya sesampai hati ustadz itu mengatainya seperti itu?

"Fatih, Ummi sedang berbicara dengannya bukan denganmu." Ummi angkat bicara menegur sang putra. "Biarkan dia menjawab dulu."

"Afwan, Ummi ... tafadholy," ucap Alfatih menunduk bersalah kala ummi sendiri yang menegur.

Farhan menggeleng-gelengkan kepalanya melihat sikap Alfatih yang seolah tengah memendam rasa tak suka pada gadis itu. Tak biasanya Alfatih membentak orang sembarangan, jika sebelumnya tak ada masalah.

"Izinkan Farhan berbicara, Mi." Farhan menyela pembicaraan dan ummi menganggukkan kepala mengizinkan.

"Baik. Jadi ini yang namanya Mbak Yumna?" tanya Farhan sejenak berbasa-basi.

"Iya," jawab Yumna seadanya. Tentu dengan suara serak yang tiba-tiba muncul kala isaknya tertahan dalam senyap.

"Oke. Kamu, kan, masih santri baru di sini, kamu  dititipkan oleh orang tuamu pada kami dengan amanah untuk kami merawat dan menjaga juga membimbingmu. Apapun aturan yang diterapkan kami di sini, kami selaku pengurusmu dan santri lainnya berharap untuk kalian menaati aturan itu.”

Mahabbah Sang Ustadz (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang