37. MSU - Kekecewaan

6.3K 505 6
                                    

Azan ashar terdengar di masjid seberang sana, membuat warga pesantren bergegas dari tempat duduk mereka, siap menunaikan kewajiban.

Farhan yang baru saja tiba di masjid tak langsung masuk untuk salat, melainkan dikelilinginya masjid itu sejenak untuk memastikan ketertiban santri-santrinya ikut salat berjamaah. Namun, di sela-sela aktivitasnya bisik-bisik terdengar percakapan antara dua santri di sana seketika membuatnya tertarik untuk bergabung.

“Iya, tadi kutemukan di atas lemarinya loh.”

“Benar-benar, kukira nggak begitu orangnya, padahal kelihatan pendiam nggak tahunya diam-diam nyimpan foto istri Ustadz Fatih, punya hubungan apa mereka?”

Ma hadha?” sahut Farhan mendatangi, kedua santri itu mendadak kikuk.

La shay', ya Gus,” balas keduanya seraya menyembunyikan sesuatu dari balik punggung mereka.

Farhan menatap keduanya dengan tatapan menginterogasi. “Apa itu?” tanya Farhan lagi.

Kedua santri itu saling memandang satu sama lain.

“Tidak perlu menggunakan bahasa isyarat, kemarikan apa yang ada di tangan kalian dan silakan setorkan hafalan juz 30 kalian kepada keamanan setelah salat ashar tertunaikan, anggap saja itu sebagai hukuman karena tadi kalian telah berbohong,” kata Farhan, membuat kedua santri tadi menunduk tak menuntut.

Salah seorang dari mereka maju memberikan beberapa lembar foto pada Farhan.

Farhan menerimanya dan langsung memasukan lembaran foto itu ke dalam saku jasnya.

“Baik, ayo salat dulu, setelah itu langsung menuju ke keamanan,” titah Farhan.

Na'am, Gus.” Keduanya patuh dan berlalu memasuki tempat wudhu.

Begitu juga dengan Farhan, ia segera memasuki masjid untuk melaksanakan ibadah salat.

Berbeda dengan Alfatih, ia langsung kembali ke ndalem setelah salat ashar tertunaikan dan sekarang dirinya berada di dapur ndalem, mencari sesuatu yang bisa ia berikan pada Yumna. Mungkin buah.

“Loh, masih di sini Fatih?”

Alfatih berbalik badan tatkala mendengar suara ummi menyahuti.

“Iya, Mi. Ada apa?” tanya Alfatih.

“Sudah selesai salatnya?” Ummi berbalik tanya seraya menarik kursi dan duduk di sana, sembari mengupas beberapa buah.

“Baru saja Fatih pulang dari masjid,” jawabnya. Ummi mangut-mangut.

“Yumna?” tanya ummi kemudian.

Alfatih sejenak diam menanggapi pertanyaan dari ummi, ia teringat dengan Yumna dan kondisinya yang tadinya sempat memburuk.

“Yumna ada di kamar,” jawab Alfatih setelahnya.

“Kenapa lama sekali? Nggak turun ikut kegiatan esktrakurikulernya?” tanya ummi lagi.

Alfatih memutar akalnya berpikir cepat lalu berkata, “Dia kelelahan, Mi. Masih butuh istrahat yang cukup.”

“Hm, Ummi tahu. Kalau begitu nggak apa-apa, biarkan dia istirahat dulu, kamu juga jangan terlalu memaksakan Yumna, juga didik dia sekenannya,” pesan Ummi terdengar sedikit ambigu dengan beberapa untai kalimatnya.

Alfatih hanya patuh dan mendengarkan.

“Oh iya, ada yang ingin Ummi sampaikan juga.” Wanita paruh baya itu kembali menyahut.

Alfatih menaikkan sebelah alisnya menunggu kelanjutan ummi berbicara.

“Mulai besok, Fatih sama Yumna tinggalnya di rumah samping asrama saja, ya. Sebagian barang Fatih juga sudah Ummi simpan di sana, gitu juga barang milik Yumna yang tersisa di asrama,” lanjut ummi.

Mahabbah Sang Ustadz (End) Место, где живут истории. Откройте их для себя