52. MSU - Pengintaian

6K 407 8
                                    

Azan subuh berkumandang di masjid, terdengar menggelegar hingga ke setiap penjuru wilayah dengan bangunan yang tertata rapi itu.
Tak lama setelahnya, diperlihatkan banyak para santri keluar dari dalam asrama masing-masing, gegas melakukan rutinitas wajib mereka subuh berjema'ah. Subuh itu terasa begitu sejuk, diiringi merdunya lantunan dzikir dan selawat nabi di seberang sana, semakin menambah kesyahduan dini hari ini.

Sementara di kamarnya, Yumna baru saja selesai salat, dilanjutkan dengan muroja'ah hafalan Qur'an yang sempat tertinggal sejak beberapa hari terakhir. Namun, tak lama setelahnya terdapat pergerakan dari balik pintu kamar,  menggerakkan Yumna dari tempatnya berjalan membukakan pintu untuk sang suami tentunya.

Wajah Alfatih terlihat cerah berseri, meneduhkan mata bagi yang memandang. Persis yang dikatakan Farhan kemarin, Yumna bahkan tak ingin lepas memandangnya lama dan ia akui itu.

Assalamu'alaikum,” ucap Alfatih. Tadinya, ia sempat mengucap salam di luar. Namun, Yumna tak menanggapinya.

Wa'alaikumussalam,” balas Yumna dengan senyum manis ditampilkan.

Alfatih ikut tersenyum, membawa Yumna kembali mendekat dengan mengindahkan kecupan hangat pada kening sang istri, lalu berpindah mengecup mesra kedua pipinya. Yumna yang diperlakukan seperti itu kukuh bergeming dengan wajah memerah. Tindakan Alfatih yang secara tiba-tiba kedang membuatnya berdebar tak siap.

“Selamat milad, Mas Fatih,” ucap Yumna memecah keheningan yang sempat tercipta.

Kembali kedua sudut bibir Alfatih tertarik menampilkan senyuman menanggapi ungkapan Yumna.

Syukran katsir, ana uhibbuki fillah,” balasnya. Mengusap pipi Yumna, mengeja setiap pahatan yang tersaji indah di depan mata.

Alfatih menarik Yumna ke dalam pelukan, sesekali mengecup puncak kepala sang istri dengan sayang. Yumna pun membalas pelukannya, membenamkan wajah pada dada bidang sang suami, melepas rasa tanpa kecanggungan lagi.

Yumna, tampaknya akan terbiasa dengan pelukan itu, pelukan yang menghangatkan juga menenangkan. Dianggapnya Alfatih mampu membuatnya merasa tenteram walau Yumna tahu Alfatih sendiri sedang tidak baik-baik saja. Apa lagi teringat semalam. Suaminya itu mencurahkan segala hal yang baginya terdengar begitu memilukan. Memang terasa tak mudah, jauh dari orang tua.

Yumna turut merasakannya, hanya saja ia terus membendung rasa. Menyembunyikan segala kerinduan untuk mencapai pertemuan yang amat didamba. Semuanya ia pelajari dari sang suami, banyak hikmah yang dapat ia ambil dari segala apa yang diungkapkan olehnya semalam. Tentang makna sebuah keluarga, terutama orang tua.

Dirinya masih sangat beruntung memiliki orang tua yang lengkap yang sayang padanya. Tetapi, di luar sana, belum tentu ada yang bisa merasakan hal yang sama dengannya. Halnya dengan Alfatih, seperti katanya; 23 tahun bukanlah waktu yang singkat, 23 tahun bukanlah waktu yang bisa berganti hanya dalam sekedip mata, 23 tahun dia hanya hidup dibawah bayang orang tua teman, yang kasih sayangnya tentu tak sama seperti dengan orang tua sendiri.

Pilu rasanya. Tetapi, lihatlah Alfatih bahkan masih bisa tersenyum untuk menyembunyikan segala luka dan kesedihan. Seolah dunianya terlihat baik-baik saja.

“Mas Fatih sudah nggak sedih lagi, kan?” Sempat-sempatnya Yumna bertanya. Ia hanya ingin memastikan suaminya baik-baik saja, walau dirasa Alfatih tentu saja tidak seperti dengan apa yang dilihatnya saat ini.

“Ada kamu, jadi buat apa sedih?” balas Alfatih seraya melepas pelukannya.

Yumna mendongakkan wajah, tersenyum menatapnya lalu berkata, “Benar, di hari bahagia harusnya bahagia juga. Nggak boleh sedih-sedihan.”

Mahabbah Sang Ustadz (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang