10. MSU - Santri Ceroboh

6.2K 525 0
                                    

Alfatih berjalan menelusuri ruang makan, mencari keberadaan ummi yang juga tak terlihat di sana. Alfatih hanya mendapati Ainun yang begitu sibuk mencuci beberapa piring bekas makan sore tadi yang tak sempat dicuci. Tidak heran, sebab jadwal ngajar di pondok yang cukup padat membuat wanita yang dipersunting abangnya sejak tiga bulan lalu itu begitu sibuk.

Alfatih kurang setuju dengan Ainun yang terus memaksakan dirinya untuk gabung mengajar, walau Ainun sendiri yang mau. Namun, setidaknya jadwal ngajar dikurangkan. Ada baiknya ia fokus dalam wilayah domestiknya sebagai istri Farhan.

"Mbak," panggil Alfatih pelan.

"Nggih. Fatih, ada apa?" tanya wanita usia 24 tahun itu berbalik badan menatap sosok yang menyapa.

"Sendirian saja? Bi Tuti kemana?" tanya Alfatih.

Bi Tuti adalah wanita yang dipekerjakan di ndalem untuk sekadar membantu meringankan pekerjaan di ndalem, salah satunya berkerja di dapur. Alfatih tak mendapatinya di sore menjelang magrib ini.

"Bi Tuti sedang ada acara hajatan anaknya, beliau sudah pergi sekitar dua jam yang lalu," jawab Ainun mengeringkan tangannya dengan kain sarbet.

"Oh," balas Fatih. "Lalu, mas Farhan?"

"Tadi keluar bersama abi, mungkin tengah bersantai sambil keliling pondok sebelum masuk waktu salat Magrib," jawabnya diangguki Alfatih.

"Fatih sedang mencari ummi. Apa Mbak lihat ummi?" tanyanya, hampir akan lupa maksud dan tujuannya di sana.

"Ah, tadi katanya ummi ke Poskestren, ada santriwati kecelakaan. Ummi panik, makanya ke sana," tutur Ainun.

"Oh ya? Kecelakaan bagaimana?" tanya Alfatih.

"Kurang tahu, Fatih."

Alfatih menganggukkan kepalanya. Ia rasa sudah cukup mengorek informasi dari Ainun, rasanya juga tak enak hati jika terus-terusan berada di sana, apalagi hanya berduaan dengan Ainun yang notabenenya istri Farhan, mereka bukan mahram.

Alfatih memutuskan untuk pergi, saat bersamaan juga terdengar suara ummi mengucapkan salam dari ruang depan. Gegas iapun menemuinya.

"Ummi dari poskestren?" tanya Alfatih sembari menyalami tangan ummi Rifah.

"Fatih, kok, tahu Ummi dari sana?"

"Fatih tahunya dari mbak Ainun. Katanya ada yang kecelakaan, siapa Mi?" tanya Alfatih lagi.

"Oh, itu ... tadi memang ada santriwati yang kecelakaan, tangannya kegores anak panah saat latihan panah," kata ummi sembari duduk di kursi.

Alfatih ikut duduk dan bertanya, "Parah lukanya? Perlu kemudian di bawa ke rumah sakit?"

"Kalau Ummi lihat sih cukup parah, tangannya berdarah. Tadinya memang diusulkan untuk ke klinik, hanya saja Ummi melarang."

"Kenapa dilarang, Mi? Bisa mati anak orang," celetuk Alfatih.

"Heh! Nggak boleh ngomong begitu. Lagipula ummi melarang karena sudah ada petugas poskestrennya, cukup ahli dalam mengatasi luka yang demikian," balas ummi.

"Ooh," tanggap Alfatih. "Terus sudah membaik?"

"Itulah yang Ummi khawatirkan, Una bilang dia merasa baikan, tapi Ummi nggak yakin," ucap ummi risau.

"Sebentar, Mi. Una?" alibi Alfatih merasa tak asing dengan nama tersebut, seolah pernah mendengarnya sebelum ini.

"Iya, Una. Yumna anak sahabat Ummi, santri yang kena sidang beberapa hari lalu karena ketahuan bawa hape," perjelas ummi membuat Alfatih mengernyit. "Memangnya kenapa, Al?"

Mahabbah Sang Ustadz (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang