55. MSU - Berdamai

4.4K 359 0
                                    

Berjejer mobil polisi di depan gerbang pesantren, mengalihkan perhatian penghuni di dalamnya untuk mengetahui apa yang sedang terjadi.

Banyak santri berdiri mengintip dari seberang, hampir-hampir akan memenuhi setiap sudut tempat di dalamnya.

Tak lama berselang diperlihatkan beberapa anggota kepolisian menyeret Zulkifli keluar dari ndalem bersama kiai Dahlan. Farhan yang memanggil pihak kepolisian kemari dengan laporan bermotif kasus percobaan pembunuhan atas adiknya ─Alfatih. Zulkifli tentu menjadi pelaku pembunuhan, sementara kiai juga dijadikan tersangka dengan tuduhan telah bersekongkol dengan pelaku.

"Masuk!" seru anggota kepolisian menyeret Zulkifli secara paksa memasuki mobil.

Pun halnya dengan kiai Dahlan, dalam hati ia tak henti merutuki perbuatan Zulkifli, benar-benar tak menyangka akan berakhir begini.

"Apa kamu tidak berpikir terlebih dahulu sebelum bertindak?" gumam kiai Dahlan tak sedikitpun melirik ke arah Zulkifli.

"Anak itu benar-benar menguji kesabaranku."

"Tua bangka sepertimu sudah seharusnya bersabar, jangan mudah tersulut emosi. Saya juga tidak suka dengan lagak Alfatih, bahkan sangat membencinya. Tapi, tidak gegabah seperti dirimu," balas kiai Dahlan. "Kalau seandainya saya tahu semuanya berakhir seperti ini, tidak sudi saya bekerja sama denganmu!"

Panjang lebar kiai Dahlah bergerutu. Namun, tak sedikitpun ditanggapi Zulkifli.

Kiai Dahlan berdecih kemudian berkata, "Dengar, Zulkifli. Kalau sampai saya masuk penjara karenamu, saya jamin pula hidupmu tidak aman di tangan saya."

"Aku sudah mendapatkan apa yang aku inginkan, tidak lama lagi anak itu akan tiada. Tinggal tunggu tanggal mainnya saja, dalam waktu yang tak lama pesantren itu akan sepenuhnya menjadi milikku," bisik Zulkifli dalam hati.

Selama ini memang itulah yang diincarnya, pesantren As-Salam yang dahulu diwariskan almarhum orang tuanya kepada saudaranya─ Hasby. Sekarang tinggal selangkah lagi baginya mencapai kemenangan mendapatkan apa yang diinginkan, sebab menurutnya Alfatih tak akan mampu bertahan lama, sehingga kematiannya akan menjadi kepuasan tersendiri bagi Zulkifli.

Sirene mobil polisi itu kembali terdengar di depan gerbang pesantren, mulai berkemudi pergi membawa kedua lelaki itu.

Di depan Ainun menatap kepergian mobil tersebut dan tak lama Farhan datang dari dalam ndalem, terburu-buru mengenakan jaketnya akan pergi.

"Mas!" panggil Ainun sejenak memblokir jalan Farhan.

"Aku akan ke kantor polisi sebentar," kata Farhan.

"Ainun?" tanyanya.

"Tunggu di sini, do'akan Fatih di rumah sakit. Nanti setelah dari kantor polisi aku akan menyusul ke rumah sakit," tuturnya.

"Aku ikut, Mas. Aku mau ke rumah sakit susul ummi dan abi," ucapnya.

"Jangan, Nun. Kalau semuanya pergi, siapa yang akan di sini? Jangan biarkan pesantren kosong tanpa orang dalam," perjelas Farhan.

"Ada ustadz Ali, Mas Farhan," balas Ainun.

"Ustadz Ali akan pergi bersamaku, aku mohon tetaplah di sini. Minta juga sama Allah supaya nggak terjadi apapun dengan Fatih." Memegang kedua pundak Ainun berusaha menenangkannya.

"Baiklah, aku akan tetap di sini," kata Ainun akhirnya menyetujui.

Farhan tersenyum untuknya, lalu mendekat mengecup hangat puncak kepala sang istri.

"Do'akan agar semuanya lancar," pinta Farhan diangguki Ainun.

Farhan menarik langkahnya hendak pergi. Namun, lagi-lagi Ainun mencegahnya.

Mahabbah Sang Ustadz (End) जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें