26. MSU - Walimatul Ursy

7.7K 564 7
                                    

Yumna, gadis anggun berkebaya pengantin itu akhirnya datang dari dalam tempat singgahnya, perlahan digiring oleh ibundanya yang tak lama Ibrahim pun datang mengulurkan tangan di hadapannya.
Yumna terhenti menatap pilu uluran tangan sang ayah, tangan yang pernah membelainya, tangan yang gemas mencubit pipinya, tangan yang banyak berkorban untuk hidupnya.

Bohong, jika Yumna tak menitikan air mata, di samping rasa kekecewaan pada kedua orang tua, Yumna masihlah anak yang menginginkan mereka bahagia. Setidaknya di hari yang menurut mereka adalah hari yang paling berbahagia ini Yumna tak seharusnya menampilkan ketidaksukaannya, walau raut itu tak dapat berbohong meski senyuman melekat sempurna di wajah.

“Saya masihlah Papamu, Yum,” ucap Ibrahim seraya menatap sang putri dengan tangan yang masih setia ia ulurkan.

Yumna tak banyak bercakap, apa yang ia rasakan saat ini memang tak dapat ia jelaskan dengan kata dan kalimat. Yumna meraih uluran tangan Ibrahim dengan berat hati,  kemudian ia digiring oleh ayahnya itu mendekati lelaki tampan yang beberapa waktu lalu telah resmi menjadi pasangan hidupnya.

Dalam hati Yumna tiada henti bergerutu, sorot matanyapun tak dapat lepas dari sosok Alfatih yang saat ini berdiri tegap memandang ke arahnya sampai tiba keduanya saling berhadapan.

Keduanya sama-sama mengerjapkan mata seakan tak percaya dengan apa yang mereka dapati saat ini. Yumna yang masih tak menyangka jika ustadz galak di tempat ia menempuh pendidikan malah berdiri di sini sebagai suaminya. Tak kalah jauh dengan Alfatih, entah skenario seperti apa yang telah sang Khalik siapkan untuknya.

Setelah bertatap lama, Alfatih dikejutkan oleh Ibrahim yang secara spontan meraih tangannya dan menyatukan dengan tangan Yumna.
Perlakuan Ibrahim tentu saja membuat Yumna terkesiap dengan polotan mata tertuju pada tangannya yang sekarang kukuh dalam genggaman Alfatih, lalu secara bergantian menatap Alfatih. Yang dipoloti hanya menarik ujung bibirnya tersenyum misterius sedang Yumna bergilir menatapnya penuh selidik.

“Sekarang Yumna sudah menjadi tanggungjawab kamu Alfatih.” Ibrahim menepuk pundak Alfatih, sementara Alfatih menganggukkan kepalanya mengerti.

“Dan Yumna, berbaktilah pada suamimu. Jangan buat dia marah dengan perkataan serta perbuatanmu, seperti kamu membuat Papamu ini marah,” pesannya pada Yumna.

Yumna tak menjawab. Mendengar penuturan Ibrahim yang demikian saja sudah cukup memperburuk suasana hatinya yang memang sedang galau dan merana. Setelah obrolan singkat itu, Ibrahim pun meninggalkan keduanya.

Alfatih kembali melirik Yumna yang kini tersenyum ke arah tamu undangan. Membatin, jarang-jarang dilihatnya Yumna yang judes saat di pesantren saat ini tersenyum lebar walau kelihatannya terpaksa, secara sadar Alfatih mengagumi senyumannya.

“Apa? Saya cantik?” Yumna yang sempat memergoki lelaki di hadapanpun menegur dengan percaya diri.

Senyum Alfatih terukir manis mendengar tegurannya, jenak mendekat membuat gadis yang telah sah menjadi istrinya itu memasang persiapan mengelak.

“Mau apa?” Yumna melototinya.

“Kamu ... nggak gugup?” tanya Alfatih setengah berbisik.

“Iya, gugup. Rasanya mau mencret saking gugupnya,” balas Yumna asal membuat Alfatih mendelik menatapnya.

Lain dengan para tamu yang melihat mereka seperti pasangan romantis umumnya. Tak lama disusul kedatangan ummi Rifah mengakhiri pembicaraan  mereka, kemudian menyodorkan sepasang cincin pernikahan kepada Alfatih.

“Lingkarkan!” titah ummi yang diangguki Alfatih.

Berbeda dengan Yumna menatapnya dengan kening berkerut. “Untuk apa?” tanyanya dengan suara lirih.

Mahabbah Sang Ustadz (End) Where stories live. Discover now