20. MSU - Curamnya Takdir

6.3K 545 2
                                    

Yumna kini berada di asrama santri, tidak ikut ke masjid pada saat seharusnya ia pergi untuk mengaji. Menyampingkan ketidakinginannya, orang tua Yumna juga secara bersamaan datang ke pesantren atas dasar panggilan abi Ahsan kemari. Usai melakukan pertemuan dengan abi Ahsan, kedua orang tuanya kini menemui Yumna di asrama. Di mana di kamar itu hanya ada Yumna dan keluarga saja.

Yumna hanya bisa diam saat kedua orang tuanya memaki di hadapan. Ibrahim yang tampak membludak amarahnya terus saja mengoceh, tidak dengan Rena yang hanya duduk memijit pelipisnya pusing dengan kejadian yang menimpa sang putri.

"Kenapa kamu bisa seceroboh itu? Mau taruh di mana muka Papa, Yum? Buat malu saja bisanya!" Ibrahim murka, sedangkan Yumna diam tak membalas. "Apa kamu tahu? Papa sudah cukup dibuat malu karena ulahmu di sekolahmu yang lama. Lalu sekarang kamu juga berulah di sini. Setega itu kamu membuat Papa malu?"

Yumna mengepalkan tangannya memilin kasar ujung hijabnya tatkala ayahnya kembali menyinggung masalah yang terjadi di sekolahnya dulu. "Bukan salah Yumna, Pa!" pungkasnya mendongak dengan air mata yang berlinang deras dari pelupuk mata.

"Lalu siapa yang salah? Papa? Atau Mamamu?!" bentak Ibrahim.

Yumna kembali menunduk, ia tak sanggup mendengarkan jika sudah dibentak sedemikian rupa oleh ayahnya. Masalah kali ini benar-benar membuatnya terhimpit ke arah curamnya takdir. Yumna bingung, ia linglung tak tahu harus bagaimana lagi menjelaskan, sementara ayahnya sendiri tak sedikitpun membiarkannya untuk berbicara.

***

Alfatih, mendongakkan wajah menatap langit malam di balkon kamarnya, dinginnya terpaan angin seolah tak berarti apapun baginya. Ia hanya membisu dengan kegundahan hati yang tak berujung.

Alfatih menarik napasnya dalam, lalu mengembusnya perlahan. Bertumpu di atas masalah yang dihadapinya kini sembari menata otak dan hatinya berusaha untuk tenang agar kemudian bisa berkeputusan dengan hati yang lapang tak gegabah. Alfatih tersenyum getir, tergurat jelas kegundahan hati yang diekspresikan oleh wajahnya, senyuman itu palsu.

"Allah ... hamba tidak sekuat itu. Lantas mengapa Engkau begitu yakin hamba bisa memikul semua itu? Apa yang sebenarnya telah Engkau siapkan di depan sana? Akankah hamba mampu melewati semuanya?" ucapnya dengan air mata yang membendung di pelupuk.

"Takdir Allah selalu baik, Fatih. Walau kemudian perlu air mata untuk menerimanya," sahut Farhan yang kini berjarak cukup dekat dengannya.

Saking larutnya dalam lamunan Alfatih sampai tidak merasakan kehadiran Farhan di sana yang mungkin saja tadinya mendengar pengaduannya.

Segera Alfatih menunduk. Mengusap air mata yang entah sudah sejak kapan menetes di pipinya. Ia sedikit malu karena Farhan mengetahui dirinya menangis sampai berbalik untuk menatapnyapun Alfatih enggan.

Farhan tersenyum simpul, berjalan mendekati Alfatih dan berdiri di sampingnya. Farhan tak langsung menegur, ia ikut menatap ke arah langit sembari membayangkan sesuatu yang membuatnya tersenyum.

"Kamu tahu, Al? Di dunia ini semuanya diciptakan secara berpasang-pasangan, laki-laki dan perempuan, kaya dan kecukupan, air dengan api, langit dan bumi, tua dan muda, hidup dan mati, cinta dan benci. Lalu selain itu, masih ada banyak lagi," ucap Farhan dicerna betul oleh sang adik. "Dan adapun tujuan diciptakannya segala hal demikian adalah tidak terlepas untuk saling menyempurnakan dan membuktikan bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini, kecuali Dzat Allah yang maha cipta dan yang maha tunggal."

Mahabbah Sang Ustadz (End) Where stories live. Discover now