27. MSU - Hanya Untukku

7.6K 547 3
                                    

Di sebuah ruangan dengan sinar lampu yang menyorot dari celah fentilasi, berdiri seorang lelaki yang kini menatap nanar selembar foto yang baru saja ia tempelkan di dinding tersebut. Terukir senyum misterius dari bibir lelaki itu, sedangkan sorot matanya terarah tajam pada foto seorang gadis yang jelas bergambar wajah Yumna.

“Aku baru tahu kamu di sini, di tempat ini, kita kembali dipertemukan,” gumam lelaki itu tersenyum misterius.

“Yumna,” sebut lelaki itu seraya menyentuh foto  yang ditempelnya itu. “Apa kabarmu? Sudah lama tidak bertemu, apakah kamu tidak merindu?”

Sesaat kemudian, lelaki itu bergeming dingin. Namun, matanya masih tak lepas tersorot pada foto itu.

“Yum ... kudengar kabar, kamu telah menikah. Benarkah itu?” Lelaki itu kembali berucap. “Tapi, kenapa? Sudah tidak sabar menungguku, ya? Atau memang kamu sudah berpindah pada lain hati?”

“Aku pernah berjanji, Yum. Setelah kita lulus bersama nantinya aku ingin melamarmu, menikah denganmu. Tetapi, kamu malah menikah dengan yang lain,” tuturnya terseyum getir.

“Seperti kataku, Yum. Jika saja aku tidak bisa memilikimu. Maka, yang lain pun selamanya tidak akan bisa memilikimu juga! kamu hanya untukku, Yumna hanya untuk Anhar,” gumam lelaki itu menekan kalimat terakhirnya, senyumannya terukir penuh misteri.

                                ***

Sudah pukul 4 sore dan Alfatih baru saja pulang bersama Ibrahim ke rumah. Tadi keduanya bersama ke masjid untuk melaksanakan ibadah salat Ashar, baru kembali setelah lama Ibrahim berbincang-bincang dengan beberapa jemaah di masjid, sekaligus memperkenalkan Alfatih pada beberapa jemaah tadi.

Kepulangan keduanya di rumah disambut baik oleh Rena, wanita berkerudung dusty itu juga dengan senang hati menyeduhkan kopi untuk suami juga menantunya.

Alhamdulillah, lihat Fatih. Mertuamu baik sekali menyeduhkan kopi untuk kita, mari minum kopi dulu!” ujar Ibrahim seraya duduk di sofa.

“Iya, ayo Alfatih minum dulu kopinya!” tambah Rena.

Alfatih tersenyum menanggapi. “Terima kasih, Pak, Bu. Tapi, sebelumnya maaf, Fatih nggak minum kopi.”

“Loh, benaran kamu nggak minum kopi?” tanya Rena membuat Alfatih terkesiap.

“Kenapa nggak minum kopi Fatih?” tanya Ibrahim kemudian.

“Ehm ... sebelum ini saya minum, tapi nggak lagi,karena pernah kejadian cicak masuk ke kopi, makanya sampai sekarang trauma sama minum kopi,” ungkap Alfatih terus terang menceritakan alasannya tak minum kopi.

Mendengar penuturan Alfatih sontak  menimbulkan gelak tawa oleh Rena dan Ibrahim. Merasa lucu ketika tahu kisah kelam yang dialami menantu mereka itu, sedangkan yang diketawai hanya menunduk malu seraya menggaruk kepalanya yang tak gatal.

Berbeda dengan yang berada di seberang, Yumna diam-diam memperhatikan mereka. Terbesit rasa tak suka  saat ia mendapati Alfatih yang begitu akrab dengan kedua orang tuanya, terlebih-lebih orang tuanya yang memang terlihat senang bersama ustadz itu, seakan lupa pada anak sendiri yang kini masih galau dan kecewa terhadap mereka.

“Sok dekat banget,” cibir Yumna dengan raut masamnya.

Yumna menarik kakinya berjalan menelusuri lorong rumah menuju kamarnya tadi. Di sana ia kembali melepas kain hijab yang membungkus rambut basahnya. Yumna baru saja selesai berkeramas dan akan mengeringkan rambutnya. Tetapi, karena perihal gelak tawa yang terdengar tadi membuatnya menunda aktivitas yang baginya terasa lebih penting daripada melihat keluarganya bersenang-senang dengan si ustadz.

Mahabbah Sang Ustadz (End) Where stories live. Discover now