8. MSU - Cuma gelar

7.2K 523 0
                                    

Setibanya di kamar Alfatih, Farhan mendapatinya yang tengah berdiri di balkon. Gegas Farhan menghampiri Alfatih, lelaki itu terlihat aneh pagi ini apalagi setelah kedatangan santri yang beberapa hari lalu di sini yang tentunya hal itu membuat Farhan ikut penasaran.

"Ada masalah apa kamu dengannya?" tanya Farhan pada inti.

"Dengan siapa?" Alfatih bertanya balik dengan tatapan lurus ke depan, entah apa yang ia perhatikan di depan sana.

"Yumna," jawab Farhan. Ia yakin Alfatih seperti itu karena gadis tadi.

Alfatih smirk. "Santri ceroboh itu? Untuk apa aku bermasalah dengan anak ingusan sepertinya?"

"Tapi, dia berhasil membuatmu seperti ini loh," gumam Farhan.

"Maksudmu?" Alfatih menoleh dingin kepada Farhan.

"Benar, kan? Kuperhatikan kamu memang nggak suka Yumna dan nggak mungkin kamu membenci sesuatu tanpa ada asbab. Hujan nggak  turun jika langit nggak mendung," balas Farhan.

"Kalaupun langit mendung juga belum tentu hujan akan turun, Mas." Alfatih tak kalah membalas.

"Ya. Tapi, nggak menutup kemungkinan nggak akan hujan, kan?" Farhan kembali membalas.

"Kita sedang bahas hujan atau apa? Kenapa berbelit?" lerai Alfatih mengelak.

"Oh iya, sampai lupa," ucap Farhan. "Mas, sebenarnya mau tahu permasalahanmu dengan Yumna, sebab Mas perhatikan sikapmu berubah drastis jika berhadapan dengannya."

"Nggak ada yang berubah dengan sikapku, aku hanya bertindak seperti biasa," ujar Alfatih.

"Tapi, nggak sampai seketus tadi dan sekeras waktu itu loh. Kamu sampai membuatnya menangis karena kamu bentak," timpal Farhan.

Sejenak Alfatih terdiam. Sedikit tercekat mendengar penuturan Farhan pada kalimat terakhirnya. Membatin, gadis itu menangis karena dibentak olehnya? Alfatih merasa tidak sebegitu kasar sampai membuat orang menangis, lalu yang dikatakan Farhan, apa itu benar? Atau Farhan hanya mengada-ada?

"Sudah Mas duga. Kamu diam artinya dugaan Mas benar," sahut Farhan membuyarkan lamunan Alfatih.

Alfatih kemudian mengembus napas gusar tak berniat menjawab.

"Coba, Tih. Cerita! Jangan memendam masalah seorang diri," kata Farhan.

"Itu cuma masalah sepele, Mas."

"Berawal dari hal sepele itulah sampai membuatmu membencinya hingga saat ini," balas Farhan.

"Fatih nggak benci,"

"Lalu apa? Cuma nggak suka? Sama saja itu," pungkas Farhan.

"Nggak tahulah, Mas. Makin berat saja masalah yang Fatih hadapi," keluhnya.

"Heh! Jangan bilang begitu. Kamu, kan, seorang Ustadz, masa mengeluh?"

"Ustadz itu cuma gelar, Mas. Fatih manusia biasa bukan malaikat!" balas Alfatih.

"Hei, Fatih! Justru karena kita manusia biasa, kita harus punya kesadaran juga, ini semua adalah ujian dari Allah dan seharusnya kita bersyukur, seenggaknya dengan ujian ini akan semakin mendekatkan kita kepada Allah, minta sama Allah. Mengeluh demikian bukan cara baik yang bisa mendatangkan solusi!" ceramah Farhan. "Selalu berprasangka baiklah kepada Allah, Fatih. Akan ada jalan keluarnya, kok!"

Mahabbah Sang Ustadz (End) Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt