30. MSU - Kesepakatan

6.9K 463 1
                                    

Masih di kamar yang sama. Alfatih terduduk di kasur seraya mememainkan handphone miliknya, sementara dari seberang pintu kamar Yumna menyipitkan mata menatapnya sengit.

Mereka baru saja sarapan bersama dengan keluarga Yumna, dan sekarang seperti biasanya Alfatih tak memiliki kesibukan lain hingga ia terus saja berada di kamar. Tidak dengan Yumna, ia memiliki banyak kesibukan di dalam sana salah satunya rebahan. Namun, urung melakukan aktivitasnya mengingat ustadznya di sana.

“Nyaman banget sih di kamar orang!” cibirnya masih setia menatap sengit ke arah Alfatih.

Merasakan kehadiran Yumna membuat Alfatih menoleh. “Kenapa kamu?” tanya Alfatih datar.

“Menurut Ustadz, kenapa?” celetuk Yumna.

Alfatih berkerut kening sembari bangkit mendekatinya. “Bagaimana saya bisa mengetahuinya, kalau kamu saja tidak menjawab pertanyaan saya?”

“Nggak semua hal bisa dikatakan Ustadz, seenggaknya Ustadz sadar diri gitu!” ketusnya.

“Maksudmu?” Alfatih terheran, tak ada angin tak ada hujan, gadis itu tiba-tiba merajuk di depannya. “Jangan diam saja, saya tanya!”

Yumna mendengus pelan lalu mendongakkan wajahnya memberanikan diri menatap manik mata Alfatih yang kini tak kalah tajam menyorot netranya. Keduanya bertemu tatap dalam waktu yang tak singkat.

Alfatih yang ditatap  merasa aneh, terbesit perasaan tak biasa kala keduanya bertatapan, perasaan yang sempat mengusik dirinya sebelum ini dan itu terjadi dengan orang yang sama. Seketika dibuat nyaman menatapnya lama, bahkan tanpa disadari tubuhnya memberi respons lain. Perlahan mendekati Yumna, bahkan hampir-hampir akan menyentuh ujung hidung gadis itu.

“Nggak peka!” sembur Yumna seketika membuyarkan lamunan Alfatih, dengan gerak kaki hendak melanggang pergi. Namun, Alfatih malah mencegahnya dan membuatnya menetap di bawah kukungannya lagi.

Yumna meringis tatkala punggungnya berbenturan dengan pintu itu akibat ditarik Alfatih sementara sorot mata mereka masih lekat menatap satu sama lain, Alfatih seolah tak berkedip menatap.

“Ustadz!” berontak Yumna ingin lepas.

“Jangan berkebiasaan pergi sebelum pembicaraan selesai, belajar sopan santun, kan?” Berat suara Alfatih terdengar menyahuti seruan sang empu.

“Saya nggak suka sama sikap Ustadz! Jadi lepas!” kata Yumna.

“Saya tidak menyuruhmu untuk menyukai apapun tentang saya, dan saya nggak akan melepaskanmu sebelum kamu menjawab saya!” pungkas Alfatih.

Yumna mendongak dengan tatapan tajam tersorot untuknya. Entah mengapa Yumna merasa remeh di hadapan lelaki yang berstatuskan suaminya sekarang, teringat saat dirinya disidang di pesantren waktu itu, tatapan remeh si ustadz masih sama persis.

“Bodoh. Kenapa aku merasa seolah kecolongan dengan menatapnya saja?” rutuk Alfatih menunduk sekejap.

“Begini, ya, adab seorang Ustadz ketika ngajak orang bicara? Dempet-dempetan kayak gini, sopan?” sindir Yumna.

Melirik sekilas, Alfatih membalas, “Iya, berlaku ketika saya bicara denganmu seorang. Jangan mengalihkan topik, urusan kita belum selesai.”

“Kalau begitu selesaikan sekarang, pengap saya begini!” pekiknya seraya memberontak kecil.

Alfatih tersenyum getir lalu memundurkan langkah dengan sorot tak lepas menginterogasi.

Mahabbah Sang Ustadz (End) Where stories live. Discover now