58. MSU - Rindu

5.6K 394 1
                                    

Di ruang rawatnya, Alfatih kini bersama dengan Farhan. Hanya ada mereka di sana.

Abi Ahsan dan Ibrahim, mereka masih di masjid yang letaknya tak jauh dari rumah sakit dan akan kembali untuk menyelesaikan pengurusan jenazah ustadz Fathan.

Sementara Rena, keluar untuk membeli sesuatu, pun halnya dengan ummi yang baru beberapa waktu lalu beranjak dari sana untuk menunaikan kewajibannya.

Kini Farhan duduk seraya berbincang hangat dengan sang adik sembari menyodorkannya sesendok bubur.

“Tolong Mas, bawa aku pulang. Nggak betah aku di sini!” pinta Alfatih dengan suara lirih.

“Sembuh dulu baru bisa pulang!” kata Farhan lembut. Tetapi, bermakna tegas.

“Aku nggak suka rumah sakit, Mas. Bau obat-obatan semua,” bisik Alfatih seraya menolak bubur yang hendak disuapi Farhan untuknya.

Farhan mendengus pelan, menatap nanar Alfatih yang amat sulit diajaknya bicara.

“Namanya juga rumah sakit, pasti identik dengan bau obat-obatan. Beda kalau ceritanya warung nasi,” balas Farhan dengan kalimat pemungkasnya.

“Intinya Fatih mau pulang, Mas.”

“Iya, kamu akan pulang. Tapi, setelah kamu sepenuhnya pulih!” pertekan Farhan.

Alfatih tak lagi membantah, berdebat dengan Farhan tentu saja tak akan ada habisnya dan hanya membuat rahangnya sakit saja. Sampai diam menjadi pilihan yang tepat.

“Ayo, makan buburnya dulu!”

“Mas, saja!” tolak Alfatih.

“Kamu yang sakit, bukan aku!” ujar Farhan.

“Orang sakit nggak semestinya harus makan bubur, Fatih nggak mau.”

Farhan kembali mengembus napas gusar, mendadak dibuat pusing dengan Alfatih yang banyak tingkah. Namun, itu tak berlangsung lama saat Farhan mendapati kedatangan Yumna. Farhan gegas saja menyerahkan persoalan itu pada istri adiknya, dengan begitu ia akan mudah lolos dari sana.

Bukan karena tak ingin berlama-lama dengan Alfatih, Farhan justru menginginkan waktu yang lebih untuk dapat bersama dengannya. Namun, rupanya Farhan masih punya urusan penting di luar. Salah satunya mempertanyakan tentang persiapan liang lahad untuk pemakaman ustadz Fathan juga acara tahlilan yang akan dipersiapkan di rumah duka.

Tertinggal Yumna dan Alfatih di sana dengan suasana hening mencengkam. Yumna sejenak terdiam dengan pikirannya, pun halnya Alfatih yang dengan lekat menatap ke arah Yumna.

Langkah kaki itu ditarik Yumna secara perlahan menuju brankar. Menarik kursi dan duduk di sana.

Assalamu'alaikum,” sapanya.

Alfatih menarik ujung bibirnya tersenyum tipis dan menjawab sapaan Yumna. “Wa'alaikumussalam.”

Kembali Yumna terdiam, bingung tak tahu harus dari mana memulai pembicaraan. Ia juga tak begitu lihai basa-basi, walau untuk sekadar menanyakannya kabar. Tetapi, kali ini ia mensugesti diri sendiri agar tidak terlalu canggung.

“Ustadz sudah merasa baikan?” tanya Yumna lirih.

Alfatih mengangguk pelan tanpa sedikitpun mau menjawab. Yumna senang mengetahuinya. Namun, tanggapan Alfatih yang demikian tak kalah membuatnya kaku. Sehingga untuk yang kedua kalinya, tercipta keheningan di sana.

Mereka sama-sama terdiam, Alfatih dengan pikirannya dan Yumna diam dengan kecanggungannya. Suami modelan Alfatih ini benar-benar telah membuat dirinya mati kutu, bahkan untuk bercakap saja rasanya kaku.

Mahabbah Sang Ustadz (End) Where stories live. Discover now