12. MSU - Tatapan Maut Alfatih

6.6K 491 0
                                    

Yumna yang tak kuasa akhirnya menangis di sana, rasa kekesalannya sudah meluap dalam dada. Ia tak tahu harus dengan apa melampiaskan selain dengan cara menangis, untungnya ummi Rifah telah beranjak dari sana hingga tertinggal seorang diri.

Yumna merasa malu karena terlalu baperan, sedikit-sedikit menangis dan merajuk, Yumna tak tahan dengan segala hal yang menikam, tidak masalah di keluarga masalah di pondokpun ikut menghimpit.

Dia tak ingin terlihat lemah, tetapi realita hidupnya selalu menyayat hati membuat air matanya jatuh tak henti. Bahkan saat ini tangisan itu bukannya berhenti, malah semakin berketerusan membuatnya sesegukan, Yumna sampai berulang kali memukul dadanya, sesak.

“Mbak!” Suara berat itu terdengar menyapu gendang telinga Yumna, sontak membuatnya menoleh.

Yumna terhenyak mendapati sosok Alfatih yang tepat berdiri di ambang pintu hingga dengan cepat pula Yumna berpaling.

Alfatih yang melihatnya sedikit heran, batin Alfatih tentu saja bertanya-tanya, apa yang dilihatnya itu benar-benar Yumna? Namun, rasanya tak mungkin. Orang tua santri sedang datang berkunjung, tidak mungkin jika kemudian gadis ceroboh itu di ndalem sementara orang tuanya berkunjung di aula depan pesantren. Entahlah, Alfatih kemari bukan untuk memikirkannya, ia sedang mencari sosok ummi, hendak bertanya sesuatu.

Alfatih gegas melanggang menjauh dari ambang pintu berjalan menuju dapur dan terhenti kala melihat ummi juga Ainun di sana. Alfatih tak langsung menyapa keduanya, melainkan dengan tatapan heran ia terbengong.

“Tunggu! Kenapa Mbak Ainun cepat pindahnya? Datang lewat mana dia?” tanya Alfatih dalam hati.

Sesaat berpikir, Alfatih akhirnya kembali melangkah pergi dari sana. Ia sampai lupa niatnya kemari dikarenakan rasa penasarannya tentang gadis tadi yang sepertinya dia memanglah Yumna. Gadis ceroboh itu, batin Alfatih.

“Hei, kamu!”

Suara Alfatih terdengar menggelegar di sana, tentu  membuat Yumna terkejut sampai terlonjak dari tempat duduk.

Alfatih  berdecih tak suka melihat tingkah Yumna, bahkan ekspresi terkejut yang ditunjukkan Yumna seolah dibuat-buat di mata Alfatih yang menatapnya.

Astagfirullah, manusia satu ini!” pekik Yumna dengan suara pelan. Ia  sibuk mengusap pipinya yang tadi dilinangi air mata.

Yumna sesekali  melirik Alfatih yang kini menatapnya tajam. Walau sekilas dengan kisaran waktu hitungan detik, tatapan maut Alfatih rupanya berhasil membuat nyali Yumna menciut saat itu juga.

“Ada apa, ya?” Sesaat terpaku. Yumna akhirnya memberanikan diri membuka suara untuk bertanya, merasa canggung jika lelaki itu diam dengan tatapan mengintimidasi.

“Seharusnya saya yang bertanya, sedang apa kamu  di sini? Kenapa bisa di sini?” tanya Alfatih dengan ekspresi jauh dari kata bersahabat.

“A-anu, tadi ....”

“Kamu tahu, kan, sedang berada di tempat apa?!” pangkas Alfatih dengan cepat. “Masuk ke sini pakai izin nggak? Punya sopan santun, kan? Tapi kenapa bisa nyelonong bebas di sini?”

Mendengar penuturan Alfatih kembali membuat Yumna mengepalkan tangannya tak suka. Ucapan Alfatih benar-benar pedis terdengar, bahkan ustadz itu dengan mudah mengatainya begitu seolah tak berpikir bagaimana lidah tak bertulang itu menyinggung perasaannya.

“Jawab!” titah Alfatih dengan suara keras terdengar, lebih tepatnya ia membentak Yumna.

“Fatih!”

Ummi datang menyahuti keduanya, tadinya ummi sempat pergi membuatkan kopi untuk Yumna. Setidaknya ia bisa menenangkan gadis itu dengan menyeduhkannya secangkir kopi. Namun, mendengar suara Alfatih di luar membuat ummi terusik dari kegiatannya dan semakin merasa tak nyaman saat mengetahui Yumna yang sedang diomeli Alfatih.

Ummi melirik Alfatih sekilas lalu beralih pada Yumna yang kini raut wajahnya semakin tak bersahabat.

Nduk,” panggil ummi mendekati.

“Saya izin pamit, Bu.” Yumna hendak pergi. Namun, lengannya ditahan ummi.

“Duduk dulu, saya bawakan kopi untukmu,” bisik ummi yang masih bisa didengar Alfatih.

Alfatih terkesiap mendengar ummi membawakan kopi untuk Yumna, apa itu artinya Yumna datang sebagai tamu ummi di ndalem? Alfatih menerka dengan sendirinya.

“Terima kasih untuk tawarannya, Bu. Bukannya saya menolak, saya masih ada urusan di asrama, saya pamit.” Yumna bersikeras menolaknya secara halus, hingga akhirnya ummi menganggukkan kepala dan mengizinkannya pergi.

Sepeninggal Yumna, Alfatih berbalik diintimidasi Ummi.

“Fatih!” suara ummi terdengar memekik.

Alfatih terdunduk malu. “Afwan Ummi.”

“Apa yang kamu katakan pada Yumna?” tanya ummi langsung pada inti.

Alfatih tak berani menjawab, ia malu ketika sadar telah salah sangka. Entah apa yang tadi ia pikirkan, rasa ketidaksukaannya menyelimuti mata juga pikiran hingga sulit bagi Alfatih untuk tidak menyangka bahkan mengatakan yang bukan-bukan pada gadis itu.

Ummi menghela napas sedikit kecewa karena ulah Alfatih, padahal baru saja ia hendak mengambil perhatian Yumna.

“Jadi pergi, kan, Yumnanya. Pasti tersinggung dia,” gumam ummi.

Afwan Ummi,” ucap Alfatih.

“Tidak ada gunanya, Tih. Harusnya kamu meminta maaf kepada Yumna. Dosa kepada Allah bisa terampuni dengan menangis dalam salat dan di samping ka'bah. Tetapi, dosa kepada manusia mesti ditebus dengan meminta maaf kepadanya. Kamu membuatnya tersinggung tadi,” balas Ummi. Alfatih terdiam. “Sudahlah, Ummi kembali ke dapur saja!”

“Kopinya, Mi?” sahut Alfatih saat ummi akan pergi.

“Fatih mau? Ya sudah,  kamu saja yang minum.”

“Fatih nggak suka kopi, Mi,” balas Alfatih dengan hati-hati.

“Mubazir kalau dibuang. Lagipula salahmu, sudah mengusir tamu Ummi,” ketus ummi berlalu pergi dengan raut merajuk.

Alfatih mengernyit bingung sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ia sedikit menyesali perbuatannya tadi yang sekarang harus pula menanggung keterpaksaan meminum kopi yang sama sekali tak disukainya.

Subhanallah,” sebut Alfatih usai menelan seteguk kopi itu sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.

Ada sensasi berbeda saat ia merasakan seteguk kopi itu melewati kerongokongan hingga tiba di lambungnha. Bagaimana tidak? Setelah kejadian yang mengingatkan pada trauma 5 tahun lalu, Alfatih kembali merasakannya dan itu karena Yumna.

Astagfirullah Yumna!” Alfatih memekik dengan raut yang seketika pucat terlihat. Dalam waktu yang tak lama Alfatih malah muntah di sana. Setelahnya menyesal karena memaksakan diri meneguk kopi yang berujung dimuntahkannya di sana.

____________
Note :
*Untuk penulisan latin bahasa asing (Arab) tidak perlu begitu diperhatikan, bukan beranggapan itu nggak penting, tapi karena memang dalam kepenulisan bahasa Arab agak berbeda sebagaimana pelafalannya.
 

Mahabbah Sang Ustadz (End) Où les histoires vivent. Découvrez maintenant