42. MSU - Nasihat Ummi

5.3K 447 14
                                    

Malamnya, seperti yang tadi dijanjikan dengan Farhan, Alfatih kini telah berada di ma'had pesantren khusus di wilayah santri putri. Tugasnya adalah mengajar para santrinya mengkaji kitab sebelum salat Isya' dilaksanakan.

"Baik, sampai di sini ada pertanyaan?" tanya Alfatih usai menerangkan isi dari bacaan kitabnya.

"Ana, Ustadz!"

Dari seberang Diny mengangkat tangannya, Alfatih meliriknya sekilas. Di antara banyaknya santri yang duduk berjejer di sana tatapannya malah terjatuh pada Yumna yang tak disangkanya ikut hadir di kajian kitab malam ini.

Tak heran, itu memang sudah jadi rutinitas wajibnya dan Yumna harus terbiasa dengan itu. Hanya saja mengingat kondisi Yumna sejak kemarin membuat Alfatih kepikiran, apakah Yumna sudah merasa baik-baik saja? Pasalnya, setelah pertengkaran kemarin Alfatih tak lagi kembali ke rumah. Ia sengaja membiarkan Yumna tenang dulu, walau langkah yang ia ambil juga tak dibenarkan. Seharusnya di saat Yumna seperti itu, Alfatih ada bersamanya.

Teralih kepada Diny yang sudah cukup lama mengangkat tangan, Alfatih mempersilakan.

"Dalam pembahasan ini, ana ingin bertanya satu hal," kata Diny.

"Iya, silakan."

"Syukran. Ana mau tanya, terkait nat isim ....”

Kajian kitab Jurumiyah berlanjut dengan penjelasan dari pertanyaan Diny, Alfatih berusaha menyederhanakan bahasa agar santrinya dapat memahami apa yang disampaikan hingga mendekati waktu salat kajian itupun diakhiri. Namun, sejak tadi sorot Alfatih tak henti memindai ke arah Yumna yang tampak acuh tak acuh begitu bersitatap dengannya.

Setelah tertunaikannya kewajiban salat di masjid seberang dan mengawasi para santri didikan. Alfatih kini berada di sisi samping teras ma'had, memantau ke arah tepat di mana banyak santriwati berhamburan keluar dari ma'had segera kembali ke asrama mereka. Yang tersisa hanya beberapa kelompok santri yamg mengikuti kajian tambahan bersama ustadz Fathan untuk beberapa waktu ke depan.

Alfatih tak terpikirkan hal itu. Ia berdiri di sana untuk menunggu Yumna. Namun, sedari tadi tak ia dapatkan Yumna keluar.

"Ehm. Permisi, Mbak!"

"Ana, Ustadz?" sahut Rani.

"Iya, saya mau tanya sesuatu," jawab Alfatih seadanya.

"Oh. Silakan, Ustadz!" balas Rani.

Alfatih mengangguk sekali. "Yumna sudah pulang?"

"Belum Ustadz, masih di dalam. Sebentar lagi pasti keluar,"

“Ooh, tadi dia nggak ikut salat di masjid?” tanyanya lagi.

Rani tampak berpikir sejenak. “Enggak, Ust. Katanya lagi ada tamu bulanan makanya nggak bisa ikut salat.”

“Iya. Baik, kalau begitu terima kasih,” tutur Alfatih.

"Na'am. Tadz, ana duluan. Assalamu'alaikum!"

"Wa'alaikumussalam," balas Alfatih saat Rani berlalu pergi.

Tertinggal Alfatih di sana, sembari menunggu Yumna, ia gegas mengenakan sandalnya lagi, berselang sesaat diikuti Yumna yang baru saja keluar dari ma'had mengalihkan perhatian Alfatih di sana.

"Sudah mau pulang?" tanya Alfatih berjalan mendekati sang istri.

Yumna mengangguk pelan dengan tatapan tak sedikitpun melirik Alfatih.

"Barengan sama saya," lanjut Alfatih.

Yumna lagi-lagi mengangguk menurut tanpa banyak menuntut.
Keduanya sepakat pulang bersama, berjalan melewati gang yang biasa Alfatih lalui menuju rumah belakag pondok, sedang Yumna mengekorinya dari belakang sampai kemudian Alfatih berhenti pada tempat tujuan.
Anehnya bukan di rumah tempat mereka berhenti. Jika diamati di sekeliling, Alfatih sepertinya membawa Yumna ke ndalem.

Mahabbah Sang Ustadz (End) Where stories live. Discover now