38. MSU - Diinterogasi Alfatih

6.8K 465 6
                                    

Hari kini mulai gelap, bersamaan terdengarnya azan berkumandang di seberang sana menambah kesyahduan suasana menjemput malam hari itu.

Yumna baru saja selesai berberes di sana sejak Alfatih keluar dari kamar. Kamar itu sudah tertata rapi, segala tempat juga masih bersih. Namun,  karena bosan Yumna memilih berberes sampai tiba pada puncaknya kebingungan kembali menyelimuti kepala.

Seingat Yumna, ia ada jadwal mengaji setelah ibadah salat maghrib dan hal itu yang membuatnya bingung. Yumna ingin mengikuti kajian malam ini, tetapi tak memiliki keberanian kembali ke asrama putri, masih merasa sungkan mengingat statusnya sekarang bukan lagi hanya sebagai seorang santri, ia adalah seorang istri dari seorang lelaki yang bergelarkan ustadz di pesantren ini, tepat di usianya yang masih belasan.

Tentu Yumna kepikiran, apa tanggapan santri lainnya tentang dirinya? Yang seharusnya saat ini banyak remaja seusianya tekun dalam belajar dan mengejar cita-cita, dirinya justru berakhir memikul dua status sekaligus.

Ini bukanlah sesuatu yang mudah untuk diterima begitu saja, awalnya Yumna mengira menikah muda itu adalah sesuatu yang sangat menarik dan tantangan dalam menjalaninya tidaklah serumit seperti banyaknya ftv bertemakan nikah muda pada umumnya. Namun, sekarang Yumna merasakan realitanya langsung, apa yang ia lalui sebelum ini mungkin hanya permulaan, makanya terlihat biasa-biasa saja. Tetapi, lama diselami juga seakan membuatnya tertarik ke kedalaman lautan fakta, fakta yang butuh waktu untuk diterima dengan hati yang lapang.

Belum lagi Yumna masih sangat akrab dengan peristiwa kelam di masa lalu membuatnya kembali digertak rasa kekhawatiran yang tak biasa. Jika dipikir, Alfatih sekarang sangat berbeda dengan Alfatih di awal pertemuan. Alfatih yang dikenalnya ini jauh lebih memperhatikannya, bahkan secara terang-terangan mulai mengungkapkan perasaan dan ketertarikan. Dalam waktu tak lama, sudah pasti Yumna tertakluk olehnya, Yumna mengakui itu pada dirinya.

Ketukan pintu terdengar dari luar kamar, membuat kefokusan Yumna terarah pada sumber suara, bersamaan terdengar sapaan salam dari luar sana. Gegas Yumna menyahut dengan pergerakan membukakan pintu yang kini menampilkan ummi Rifah di sana.

“Bu Nyai,” sebut Yumna.

“Sudah mau tidur, Nduk?” tanya ummi yang dibalas gelengan pelan oleh Yumna.

“Kenapa? Bukannya lagi nggak enak badan, ya? Inipun saya bawakan jamu juga loh buat kamu,” kata ummi Rifah seraya memperlihatkan segelas jamu buatannya.

“Maaf, merepotkan Bu Nyai,” ucap Yumna canggung.

“Apanya yang merepotkan, Nduk? Cuma jamu,” kata ummi Rifah. “Izin masuk, ya. Ummi simpan ini untuk kamu minum nanti.”

Yumna menganggukkan kepalanya tanda mengizinkan, kemudian ummi kembali mendekat.

“Boleh bicara sebentar, kan?” tanya Ummi lagi-lagi meminta persetujuannya.

“Maaf, Bu Nyai. Apa Bu Nyai terkena virusnya ustadz Fatih, sampai ingin bicarapun harus minta izin dulu? Padahal seharusnya enggak, kan?” Dengan hati-hati Yumna berucap dan hanya ditanggapi senyuman oleh ummi Rifah.

“Bukan begitu maksudnya. Ummi mau tanya, Nduk. Terkait Fatih, menurutmu bagaimana dia?”

“Una nggak ngerti, Bu. Apanya yang bagaimana?” tanya Yumna.

Mahabbah Sang Ustadz (End) Where stories live. Discover now