61. MSU - Tugas Baru

10.9K 508 15
                                    

Malam hari seperti biasanya. Yumna masih mengikuti kelas tambahan bersama teman sepondoknya, mereka semua terlihat tekun mendengarkan penyampaian ustadz Rizal di depan sana yang sejak beberapa hari lalu menggantikan posisi almarhum ustadz Fathan dalam mengajar.

Tidak dengan Yumna, yang mulai merasa tak nyaman. Tiba-tiba badannya terasa pegal-pegal, terutama pada bagian bahu dan pinggulnya. Membuat dirinya kesulitan untuk fokus.

"Kenapa rasanya sesakit ini sih? Apa aku terlalu kecapekan?" bisiknya dalam hati.

Tangan Yumna bergerak pelan mengelus perutnya dibalik lebarnya kain mukena yang masih ia kenakan. Berusaha tenang meskipun sudah tak lagi dapat fokus dengan kajiannya malam ini. Untungnya rasa nyeri di beberapa bagian badannya kunjung mereda bersamaan dengan dibubarkannya pengajian kitab.

Setelah isya memang para santri diberikan keringanan mengikuti kajian dengan batas waktu 2 jam agar mereka bisa beristirahat lebih awal.

Pun halnya, Yumna. Ia langsung meninggalkan ma'had usai kajian, kali ini langkahnya tak ia tarik menuju ndalem dan berkumpul bersama keluarga di sana seperti yang direncanakan sebelumnya. Melainkan ke rumah.

Yumna menutup pintu rumah itu, lalu berjalan gontai menelusuri lorong rumah menuju kamar. Badannya seketika terasa lemas dengan kepala yang berdenyut sakit. Alih-alih membuka pintu, ia malah terdiam sesaat. Menetralkan pandangannya seraya menyeimbangkan posisinya di atas tumpukan kakinya.

Yumna hampir saja ambruk di sana, seandainya bukan karena Alfatih yang secara kebetulan berdiri di belakang dan menopang badan Yumna.

"Yumna," lirih Alfatih memanggil. Membalikkan badan Yumna menghadapnya.

Istrinya itu bahkan tak lagi mampu membuka mata membuat Alfatih cemas.

"Hei, ada apa?" tanya Alfatih.

"Mas Fatih," sebutnya lirih terdengar.

"Masuk dulu!" ajak Alfatih seraya menuntun sang empu memasuki kamar mereka. Namun, Alfatih terpaksa menggendongnya mengingat Yumna semakin merasa lemas.

Alfatih mendudukkan Yumna di sisi kanan kasur king size, sementara itu ia berjongkok di hadapannya. Menjadikan kedua lututnya itu sebagai tumpuan.

"Kamu sakit?" tanya Alfatih benar-benar khawatir.

"Kepalaku tiba-tiba pusing," jawab Yumna lemah.

"Saya pijit, mau?" tawarnya dibalas gelengan oleh Yumna. "Coba ya, siapa tahu bisa mengurangi rasa pusingnya."

"Nggak mau, Mas. Jangan," tolak Yumna.

Meski Yumna menolak, Alfatih tentu tak kehabisan akal, kebetulan saja karena ia mendapati minyak angin di sana ia langsung menuangkannya ke telapak tangan, hendak ia oleskan ke pelipis Yumna.

"Saya olesi minyak angin, gimana?" tawar Alfatih lagi.

"Jangan, Mas. Saya nggak suka," balasnya lagi-lagi menolak.

"Coba saja, Yum. Biar nanti ...." Belum lagi Alfatih melanjutkan perkataannya, ia langsung terkejut mendapati pergerakan Yumna yang seketika bangkit dari tempatnya. Berlari masuk ke dalam toilet kamar.

Karena khawatir Alfatih pun bergegas mengikutinya dan membantu mengurut pelan punggung leher sang istri yang tengah mual-mual di wastafel.

Alfatih tak lagi berkutik, matanya seketika berembun menatap remang punggung istrinya yang tampak tersiksa saat ini. Walau sebenarnya hal itu wajar-wajar saja bagi wanita yang tengah mengandung, apalagi Yumna yang masih terbilang hamil muda.

Terbesit perasaan bersalah saat dirinya sempat mendiamkan Yumna seharian ini, bahkan tak sedikitpun memberi waktu bagi keduanya bercakap atau sekedar saling bertukar kabar. Sesalnya, ia pun mengetahui kabar kehamilan Yumna pada ummi Rifah dan mertuanya.

Mahabbah Sang Ustadz (End) Where stories live. Discover now