22. MSU - Tak Berkabar

7.1K 527 0
                                    

Setelah dari madrasah Alfatih  kembali ke ndalem sejenak untuk bersiap. Ia harus ke kampus pagi ini, ada yang harus Alfatih urus. Tak heran karena tak jarang di akhir-akhir semester begini akan ada saja kendalanya dan Alfatih berharap kabar panggilan untuknya dari Keenan tidak kemudian menambah beban dalam pikirannya. Alfatih punya target menyelesaikan kuliah tahun ini, jika skripsinya sudah ter-Acc tampak akan lebih mudah nanti.

Di ruang depan Alfatih berpamitan dengan ummi Rifah.

"Sudah bicara dengan orang tua Yumna, Tih?" tanya ummi saat Alfatih menyalami tangannya.

"Sudah, tadi bersama abi," jawab Alfatih seadanya.

"Alhamdulillah, lalu jawabanmu?"

"Tidak ada jawaban Fatih yang perlu dipertanyakan lagi, Mi. Fatih harus bertanggungjawab menikahinya," kata Alfatih, lalu membatin, "dengan begitu Fatih akan lebih mudah memantaunya lebih dekat."

"Iya, Nak. Ummi tahu dan Ummi berharap Fatih nantinya bisa menerima Yumna, bimbing dia bersamamu."

Alfatih menunduk. "InsyaaAllah," katanya gegas bangkit akan pergi.

"Di sana, sampai kapan, Nak?"

Suara ummi kembali menyahuti hingga membuat Alfatih berhenti dan berbalik menatapnya.

"Belum bisa Fatih pastikan, Mi. Nanti jika sudah selesai urusannya, Fatih akan pulang kemari," jawab Alfatih.

"Baiklah, kalau begitu hati-hati," pesan ummi dianggukinya.

Setelah obrolan itu Alfatih pun pergi dari ndalem dan meninggalkan wilayah pesantren, ia mengendarai mobilnya membelah jalanan kota Bandung menuju persinggahannya, tak langsung ke kampus sebab ada sesuatu yang lain yang harus ia siapkan di rumahnya.

Sementara di madrasah, Yumna berdiam diri di bangku belajar. Ia terlihat lemas seperti awal datang dan semakin dibuat galau setelah interaksi singkatnya dengan sang ustadz tadi membuat gadis itu melamun karenanya.

Ucapan Alfatih yang mengatakan akan menikahinya masih terngiang jelas di telinga dan melekat dalam benak. Entah apa yang ustadz itu pikirkan sampai nekat akan berbuat demikian, pikir Yumna.

"Punya uang berapa dia untuk menebusku? Kenapa percaya diri banget sampai ingin menikahiku? Apa dia kira dengan menikah dia bisa menyembuhkan luka yang dia buat?" gerutu Yumna dengan suara pelannya.

"Luka apa?" Yumna terlonjak karena terkejut saat mendengar seseorang tiba-tiba menyahuti perkataannya.
Diny yang memperhatikannya berkerut heran dengan keterkejutan Yumna yang berlebihan.

"Astagfirullah, kukirain siapa? Bikin kaget saja!" pekik Yumna mengusap dadanya seolah dibuat jantungan oleh kehadiran Diny.

Diny tersenyum simpul dan berkata, "Afwan, ana nggak bermaksud."
Yumna berdeham dengan kepala mengangguk pelan, iapun duduk kembali dengan perasaan tak karuan, takut jika ucapannya tadi terdengar oleh Diny.

"Emm ... Mbak, aku boleh ikutan duduk?" tanyanya.

Yumna mendongak. Ada beberapa pertanyaan yang berputar di kepalanya saat gadis itu meminta Izin padanya. Yumna tak pernah kenal terlebih-lebih akrab dengan Diny, jangan lupakan juga bagaimana Diny memperlakukannya tempo hari. Luka ditanganpun masih membengkak karena Diny, lalu sekarang gadis itu mendatanginya, ada apa gerangan?

"Ehm, boleh tidak?" sahut Diny lagi.

"Ah, iya. Boleh," kata Yumna.

"Syukron," ucap Diny kemudian duduk di samping Yumna.

Setelah duduk dengannya Diny menjadi sangat sungkan. Pasalnya, ia tak tahu harus bagaimana memulai obrolan ditambah lagi interaksi antara keduanya beberapa waktu terakhir sangat jarang dan berkesan tak bersahabat.

Mahabbah Sang Ustadz (End) Where stories live. Discover now