extra chapter | daddy is trying ....

22.6K 1.1K 105
                                    

time setting: zane - sab bulan-bulan awal married




daddy is trying ....



"Kupikir kamu ke Jakarta agak sorean karena keburu kangen istri. Nggak taunya kangen Mas Agus sama Mbak Iis." Sabrina cemberut saat mendapati Zane baru tiba di apartemen menjelang pukul satu pagi. Padahal pria itu sudah landed di Soetta sejak pukul tujuh petang tadi.

Merasa tidak punya pembelaan, Zane hanya bisa menertawakan diri sendiri, segera bersimpuh di karpet dekat istrinya yang masih duduk di sofa living room. "Kamu kenapa belum tidur? Malah nungguin."

"Ih!" Sabrina berdecak dan membuang muka. "Kamu kalau jadi aku, bisa tidur duluan, nggak?"

Zane tidak mengerti.

Tadi sore, saat dia mengabari telah berangkat menuju Changi, Sabrina melapor bahwa dia akan lembur sampai malam. Lalu, di mana salah Zane kalau dia berbelok ke rumah Agus dan Iis alih-alih langsung menuju ke apartemennya yang kosong?

Tentu, Zane bersalah karena setelahnya lupa waktu mengobrol dengan Ismail dan Ehsan yang juga ada di sana. Bahkan, dia tidak kepikiran untuk menjemput Sabrina ke kantornya. Tapi kan ... Sabrina ada sopir ....

"Kenapa nggak bisa? Biasanya habis lembur, kamu langsung tidur karena kecapekan." Zane meraih kedua tangan istrinya, kemudian mengumpulkannya di pangkuan sang wanita.

Sabrina kembali berdecak. Ingin menepiskan tangan Zane dari pangkuannya, tapi tidak bisa karena genggaman sang pria terlampau erat.

"Sebel, tau!" Sabrina masih membuang muka.

Satu senyum tipis terulas di bibir Zane. Lantas dengan lembut dia membuka kedua telapak tangan istrinya yang mengepal. Membuatnya terbuka menghadap ke atas dan meletakkan wajahnya sendiri di sana, di pangkuan istrinya. "Forgive me, hmm ...? I miss you too. Tapi kan tadi kamu masih lembur. Jadi aku nengokin ponakan dulu, mumpung belum pada tidur. Eh, anak-anak yang lain pada nyusul. Jadi lupa waktu ngobrolnya."

"Aku nelpon kamu apa enggak?" Sabrina mencecar.

Di atas telapak tangan istrinya, Zane mengangguk lemah. "Maaf, aku nggak lihat handphone. Soalnya tadi numpang nge-charge di sana, jadi ditinggal di meja."

"Alesaaan ...." Sabrina makin cemberut. "Kalau beneran kangen, pasti sebentar-sebentar ngelihat handphone. Nanya aku udah selesai apa belum. Nanya aku udah mau otw pulang apa belum."

Zane meringis. "Salahin Ehsan, dia kebanyakan curhat. Aku jadi ke-distract. Padahal sebenernya pengen banget pulang cepet-cepet dan nungguin kamu."

"Bohong."

"Serius, Yang .... Mana mungkin sih, aku balik ke Jakarta demi dengerin ocehannya Ehsan? Nggak penting."

"Nggak penting, tapi kamu dengerin sampe jam segini!"

"Maksudku, nggak sepenting itu buat aku sengaja dateng dari SG ke sini hanya demi dia. Tapi kan tadi situasinya, udah terlanjur ketemu, udah terlanjur denger ceritanya ... dan sejujurnya agak kasian juga kalau tiba-tiba aku potong keluh kesah dia di tengah jalan ...." Zane mendongak mencari sepasangbmata istrinya. Tapi Sabrina masih menatap ke arah lain. Belum mau menghadap ke arahnya. "Kamu kalau ada di sana, pasti ikut kasihan, deh. Ngenes banget tuh anak ...." Melihat Sabrina belum juga berkutik, Zane lalu melanjutkan, "Nggak bisa bantu, at least sebagai temen satu dekade lebih, aku bisa dengerin, kan?"

"Emang ngenes kenapa?" Meski belum mau menatapnya, tampaknya sang istri sudah mulai luluh.

Zane mesem. "Ada cewek yang suka sama dia."

"Ck! Ada cewek yang suka, ngenes dari mananya?"

"But he doesn't like her back. Makanya jadi awkward. Padahal he owes her a lot." Bibir Zane menipis. Mengeratkan genggamannya pada pergelangan tangan sang istri. "Disukai sama orang nggak selalu berarti kabar bagus, kan?"

Belum kunjung mendapat tatapan dari istrinya, Zane melepaskan satu pergelangan tangan Sabrina dan ganti meraih lengan atasnya. Menggamit lembut. "Sayang ... kamu agak sensitif begini, ada kabar apa?"

Sabrina mendengus pelan. "Kamu berharap ada kabar apa?"

"Enggak berharap apa-apa. Cuma khawatir kamu kenapa-kenapa."

"Aku belum hamil, jadi nggak usah terlalu berharap!"

"Ya kalau memang belum, ngapain juga berharap? Berusaha, dong." Zane meringis. Melepaskan lengan istrinya dan meraih lebih jauh lagi. Kali ini menyentuh dagunya. Memaksa Sabrina menatapnya. "Right?"

"Iiih ... minta maaf yang bener dulu!"

Zane mengulum senyum. "Sayaaang ... maafin Ehsan karena bikin suamimu ini lupa waktu. Besok kusuruh dia bayarin kopimu seminggu penuh, deh. Please, maafin Ehsan. Dia lagi galau. Kalau kamu musuhin juga, nanti jadi makin galauuu ...."

[]



a/n:

Surprise gak? Padahal rencananya gak mau publish extra chapter lagi di wattpad karena jumlah chapternya udah 90+. 💀

Jadilah barusan w hapus extra chapter 'Kena Tanggung' dan update yang ini biar jumlah chapternya gak nambah. 

Anyway, kalau mau baca extra chapter lain yang pendek-pendek dan gratis gini, ada di link di samping yak. Scroll aja sampai nemu yang ada keterangan 'terbuka' alias bisa langsung dibaca tanpa bayar dulu. ➡️

Warning: Physical Distancing! [COMPLETED]Where stories live. Discover now