65 | no towel needed

178K 22.2K 1.6K
                                    




65 | no towel needed



ZANE menyusul masuk ke kamar sekitar sejam setelah Sabrina.

Sabrina yang sedang asyik rebahan sambil browsing, segera menyembunyikan HP-nya dibalik badan. Males ketahuan. Males diledekin. Cukup omongan nyelekit Karen dkk saja yang masuk ke kupingnya, Zane jangan. Zane lebih cocok disayang-sayang.

"Dari tadi belum mandi juga?"

Zane duduk santai di pinggir kasur, menopang tubuhnya pada satu tangan, sehingga badannya menjadi condong ke belakang, ke arah Sabrina.

Sabrina bergeser menjauh, mengatupkan bibir rapat-rapat, takut kelepasan tertawa.

Entah mengapa kali ini mukanya tidak bisa dipaksa serius. Bawaannya ingin ketawa terus.

Sialnya lagi, mata Zane lebih awas dari yang dia duga.

"Kenapa HP pakek disembunyiin segala? Ada apaan, emang?" tanya lelaki itu dengan tampang menyelidik. Dan sialnya Sabrina lupa bahwa kadang-kadang, tingkat kekepoan Zane bisa melebihi Juned.

Sabrina menggeleng kuat-kuat, berniat segera kabur. Namun, sebelum sempat dia cegah, ponselnya sudah lebih dulu diraih oleh bosnya, yang langsung tertawa begitu melihat apa yang coba dia sembunyikan.

Sabrina menutup muka dengan bantal karena malu.

"Terus aja ketawa," gerutunya.

Sumpah, sepanjang hidupnya, Sabrina belum pernah semalu ini. Lebih memalukan ketimbang saat Zane tidak membalas ciumannya pertama kali.

Zane tertawa sampai puas, membuat perut Sabrina seketika mulas. Tidak siap dihujat.

Zane lalu menyingkirkan bantal dari mukanya, memandangnya dengan mulut setengah ternganga, dan kedua alis terangkat lebar-lebar. Takjub.

"Kenapa? Lo khawatir calon yang disembunyiin abang gue itu kakak lo, dan kita jadi ipar gitu? Terus kita nggak bisa nikah?" Zane memperjelas, membuat Sabrina ingin menghilang ditelan bumi sekarang juga.

Ketahuan menyukai Zane, okelah. Siapa juga yang tidak akan kepincut pada Bos muda, bertampang lumayan, berbadan seksi, meski sebenarnya rada ngilfeelin soal pekerjaan?

Tapi ketahuan ngebet ingin menikah dengannya? Please deh, Sab, elo ini cewek apa bukan? Segitu amat agresifnya?

Sabrina tidak bisa menyahut. Mukanya merah padam.

"Sepengen itu lo nikah sama gue?" Zane mulai menggodanya, dengan tampang lebih tengil ketimbang tampang Akmal.

Sabrina sampai ingin menangis karena tidak kuat melihatnya.

"Kagak." Perempuan itu mendengus, dan tentu saja sambil buang muka.

Zane yang dengan mudahnya mengikuti arah pergerakannya karena sedang duduk, mencubit hidungnya, gemas.

Tawanya terhenti, hanya tersisa senyam-senyum.

Sabrina memajukan bibir. Mohon ampun tanpa suara.

"Nggak pengen tapi browsing-nya tentang hukum nikah." Zane manggut-manggut, seolah-olah tindakan Sabrina tadi sangatlah lumrah.

Kontan Sabrina merasa tertohok dengan satirenya.

"Ya, kan, apa salahnya nambah ilmu?" Perempuan itu manyun, dan mendapatkan cubitan sekali lagi di hidung, yang kali ini mulai terasa sakit saking gemasnya yang mencubit.

"Ayok lah, nanti abis Jeff kelar, kita nyusul nikah."

Sabrina kontan melotot mendengar ajakan yang diucapkan seringan bulu angsa itu. "Ogah!"

"Lah?" Zane mengerutkan dahi.

"Masa udah dilamar aja? Ditembak juga belum!"

"Lah? Emang belum?" Zane pasang tampang bego, membuat Sabrina kesal dan mencubit lengannya sekeras yang dia bisa. "Terus seminggu ini kita ngapain?"

"Au ah, Bambang!"

Sebelum Sabrina menjauh, Zane sudah lebih dulu menariknya ke pelukan. Mengacak-acak rambutnya.

"Jangan peluk-peluk, Bos!" Sabrina berusaha melepaskan diri, membuat Zane malah mendekapnya seerat-eratnya. "Karyawan lo ini lagi ngambek!"

Zane ngakak. "Nah, ini nih yang tadi pengen gue tanyain tadi. Lo ngambek kenapa, sih?"

Sabrina malas menyahut. "Don't wanna talk about that."

"Baguslah." Zane mesem, kemudian mengecup puncak kepalanya. "Baikan, nih?"

Sabrina menggeleng, lalu berbisik. "Tergantung."

"Tergantung?"

"How well you treat me."

"Challenge accepted." Zane balas berbisik, berlagak menggigit telinga Sabrina karena gemas. Tapi kemudian, mendadak dia menjauhkan diri. "Mandi sana. Bau."

Sabrina melotot. "Bilang gue bau, gue suruh tidur di sofa!"

"Serius, Sab. Kayak pasar ikan."

Zane mengendus lehernya sesaat, dan langsung menggulingkan badannya menjauh.

Kejang-kejang. Dengan ekspresi wajah paling menyebalkan yang pernah Sabrina lihat.

"Tolooong, gue keracunan. Ada yang asem bangeeet, seharian belum mandiii!" Lelaki itu berlagak sedang berteriak-teriak, namun dengan suara super pelan karena takut terdengar penghuni rumah yang lain, membuat Sabrina memukulnya karena kesal diolok-olok.

Zane lalu menoleh padanya, sok serius.

"Buruan mandi sana. Apa perlu gue mandiin?"

"Apaan sih, Zane? Makin parah lo jablaynya! Geli tau!"

"Dih, mulai berani panggil nama."

"Dasar Bos gila hormat!"

"Dasar staf nggak ada sopan-sopannya. Untung cantik. Kalo enggak, udah gue pecat dari dulu."

Sabrina mesem. "Puji kerang ajaib. Gue cantik. Gue terbebas dari ancaman pemecatan."

Zane bangkit duduk, ganti pasang muka kebapakan. "Buruan mandi, Sayang. Gue ambilin kaos bersih."

Karena sudah disayang-sayang, Sabrina terpaksa bangkit, meski dalam hati malas-malasan.

"Mau pakek daleman gue sekalian, daripada masuk angin?" Zane menanyainya dengan nada sok serius.

Sabrina melotot. "Nggak, lah. Gue tuh nggak kayak elo. Manajemen gue soal survival kit lebih bagus."

"Daleman lo jadiin survival kit?" Zane mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi, dan langsung mengecup puncak kepalanya sekali lagi dengan gemas. "Bagus, lah. Berarti kapan-kapan kalo gue culik lo lagi, nggak perlu kuatir. Aneh juga ngebayangin cewek pakek boxer gue."

Sabrina mendengus, bangkit berdiri dan segera melenggang ke kamar mandi setelah menerima sepotong kaos oblong dari Zane.

Begitu Sabrina masuk, barulah pandangan Zane jatuh pada lipatan handuk bersih yang tertinggal di meja.

"Eh, Sab!" serunya segera.

"Paan?" Sabrina menyahut dari dalam dengan nada kesal.

Dan tiba-tiba saja Zane berubah pikiran. "Baju kotor lo cepet lemparin ke luar, gih. Biar gue cuci sama punya gue sekalian."

"Cie, yang udah pinter nyuci sendiri."

Zane mesam-mesem. "Berkat elo, nih."



... to be continued

Warning: Physical Distancing! [COMPLETED]Where stories live. Discover now