44 | pesona mantan nggak pernah pudar

186K 22K 1.4K
                                    




44 | pesona mantan nggak pernah pudar



"TERNYATA elo beneran, Sab?"

Sabrina otomatis mesem, kikuk.

Ternyata memang sesakti itu mulutnya. Seringkali, yang dia ucapkan asal-asalan malah dikabulkan. Bahaya, kan?

Dan parahnya, di antara semua mantan, kenapa malah Bimo yang dipertemukan dengannya lagi?

"Eh, elo, Bim. Long time no see. Nggak nyangka bakal ketemu di sini."

Jelas long time no see, karena dulu saat baru putus, dirinyalah yang memutuskan untuk mengganti nomor baru dan menghindari semua tempat nongkrong Bimo hanya agar tidak bertemu.

Bimo mengulurkan tangan untuk berjabatan, dengan sama canggungnya. Meski sudah memaafkan, tetap saja dia tidak bisa lupa bahwa perempuan ini pernah memutuskannya dengan cara ekstrim, dan tanpa disangka-sangka. Jadi mau tidak mau, setelahnya Bimo memang jadi lebih siaga, bahwa semesta—dengan perempuan sebagai subjeknya—mampu menjungkirbalikkan hidupnya hanya dengan jentikan jari.

Kejam.

Tapi tidak perlu diingat-ingat lagi, cukup dijadikan pelajaran.

Toh saat itu dirinya memang baru dua puluh satu tahun, dan Sabrina baru delapan belas tahun. Seberapa keras dirinya membela diri, Sabrina memang masih ABG labil.

Sabrina membalas uluran tangannya, mau tidak mau mulai merasa cemas.

Dia pribadi jelas tipe pemaaf dan gampang move on, semenyebalkan apapun mantan-mantannya. Tapi apakah para cowok pemaaf juga—setelah diputuskan dengan cara tidak terhormat? Sabrina cuma bisa berdoa semoga setidaknya—di antara semua mantan-mantannya—Bimo ini sudah introspeksi diri dan menyadari kesalahannya.

"Masih kesel, Sab?" Bimo bertanya. "Sabar. Ini cuma urusan kerjaan, kan? Profesional aja. Gue juga nggak nyangka Abang gue pakai EO lo, padahal gue sering ketemu Zane."

Sabrina mengangguk.

Anggap aja start over.

Pertama dan terakhir kali mereka berjabatan tangan, memang empat tahun yang lalu saat berkenalan. Selang dua minggu kemudian langsung jadian. Jadi saat berjabat tangan lagi, Sabrina otomatis flashback.

Meski sekarang lebih dominan canggung dan merasa bersalah, saat itu yang ada di pikirannya juga tidak jauh berbeda. Bimo memang yang paling keren di antara semua teman-teman tongkrongannya, dan jujur, saat diperkenalkan, dulu dia bertekad akan langsung menerima jika didekati, apalagi kalau sampai ditembak. Makanya dia jadi sok ramah, meski tidak sampai tebar pesona. Dan justru itu pelajaran yang bisa dia petik. Jangan menjadi orang lain jika tidak ingin diperlakukan sebagai orang lain. Dirinya bukan porselen antik yang rapuh, tidak perlu mendapat perlakuan khusus, apalagi dipamerkan di lemari kaca. Kalau barbel mah barbel aja. Samsak tinju juga boleh. Semuanya istimewa. Punya peran masing-masing. Tidak perlu berlagak jadi rumput tetangga biar kelihatan lebih hijau.

Sabrina mesem, mencoba mencari-cari sahutan yang tidak akan mengingatkan pada masa lalu, tapi tidak ketemu.

"Kayaknya, kalo mau, kita bisa ngobrol nanti. Janjian meeting-nya sekarang banget, kan?" Bimo mengingatkan.

Sabrina mengangguk, merasa bersyukur dalam hati.

Sejauh ini, cuma Bimo yang paling bisa membuatnya selalu merasa lebih baik di segala situasi.

Warning: Physical Distancing! [COMPLETED]Where stories live. Discover now