18 | dude and his ex

218K 20.4K 464
                                    




18 | dude and his ex



ZANE tidak langsung tancap gas. Menunggu.

Entah apa tepatnya yang sedang dia tunggu. Pokoknya dia merasa tertahan di tempat itu. He's just can help it. Seolah tangannya menolak diperintahkan untuk menyalakan mesin.

Setelah setengah jam dia duduk diam di dalam mobilnya yang terparkir jauh di ujung basement, dia melihat Karen dan Sabrina keluar, berjalan menuju mobil Karen.

Mereka berdua sama-sama menenteng paperbag besar yang Zane tebak isinya souvernir pernikahan.

Bahkan meski sudah kelar acara, perempuan itu, Sabrina, tetap tidak mau repot-repot mengganti heelsnya dengan sandal terlebih dahulu. Memilih tetap menyiksa diri. Bego, emang.

Ah, bukan urusannya juga, sih. Saudaranya juga bukan.

Kemudian setelah mobil Karen berlalu, menampilkan sekilas sosok kedua perempuan itu asik ngobrol di dalam mobil lewat kaca jendela yang gelap, Zane meraih ponselnya di dasbor dan menelepon.

"Bro, pada di mana?" tanyanya. Sudah lama dia tidak bertemu teman-teman kuliah karena akhir-akhir ini sibuk mencari klien demi menghidupi delapan orang stafnya. Kangen sih enggak—amit-amit, deh—cuma kalau ada teman ngopi, kenapa enggak?

Ihsan, temannya, menyahut di seberang. "Di tempatnya Mail, Sayang. Sini deh, kangen gue. Pengen bersandar di bahu lo yang kekar itu."

Ihsan memang gitu ngomongnya kalau ditelepon. Tapi dia nggak lekong, kok. Pacarnya juga cewek. Dan dengar-dengar mereka udah mau nikah, malah, dua atau tiga tahun lagi.

"Ada siapa aja?" tanya Zane lagi.

Ihsan ini memang dari dulu gaulnya sama Mail, anak Desain Komunikasi Visual—yang dulu jadi penyanyi top di kampus, yang terkenal dengan suaranya yang serak-serak basah dan rambut gondrong—yang sekarang punya bisnis coffee shop. Ihsan dan Baim dulu satu kontrakan. Nama rumahnya 'Kontrakan Ganteng'. Meski lebih hemat di ongkos, Zane paling anti ikut ngontrak dengan mereka dan setengah lusin anak lain. Mending sewa apartemen sendiri. Takut orientasi seksualnya melenceng kalau dari bangun tidur sampai mau tidur lagi yang dilihatnya laki semua. Mana dulu gosipnya ada salah satu penghuni kontrakan yang ketahuan pernah memasukkan cowok ke kamar, sandal dibawa masuk biar nggak ada yang tahu, terus matiin lampu. Mau ngapain coba? Latihan nyepi?

Kalau cewek yang dibawa masuk mah mending. Paling ujung-ujungnya digrebek warga, dinikahin paksa. Nah ini ... amit-amit jabang bayi!

"Kayak cewek aja, sih, nanya ada siapa?" Ihsan mencibir di seberang. "Nggak berani lo, nyamperin gue sendirian? Takut gue perkosa?"

Ck. Zane paling males diceng-cengin. "Otw. Jangan pada balik dulu."

"Yoi. Bawa dompet, jangan sampe ketinggalan. Peraturannya yang terakhir dateng yang bayarin. Oke, Sayang?"

"Taik."

Zane langsung memutus sambungan dan menyalakan mesin mobilnya, segera meluncur ke tempat yang tadi disebut Ihsan.

Di coffee shop Mail, teman-temannya duduk ngumpul di pojokan. Cuma tiga orang, sih, karena yang lain sudah pada mengadu nasib ke luar kota, luar pulau, atau luar negeri. Yang terakhir lulus, Bastian, sang sarjana tujuh tahun, juga katanya sudah dapat kerjaan di KL. Padahal beberapa bulan yang lalu, doi masih suka luntang-lantung dari kafe ke kafe, dari club ke club. Hidup segan mati tak mau.

Warning: Physical Distancing! [COMPLETED]Where stories live. Discover now