13 | gue tebengin!

234K 20.9K 125
                                    




13 | gue tebengin!



SABRINA mana bisa kabur!

Begitu tiba di lokasi, Zane langsung menyodorkan segepok kertas berisi checklist segala sesuatu yang harus dipastikannya sesuai konsep. Ketersediaan jumlah dan kondisi. Juga mengonfirmasi ulang setiap detail yang tercantum di checklistnya. Sementara Zane ... aish, Sabrina ingin menendang bokongnya kalau bisa.

Saat dia pontang-panting mengecek semuanya, Sang Baginda Raja malah enak-enakan duduk di kitchen untuk food testing. Lagaknya sudah kayak kepala pelayan Kerajaan Inggris yang lagi mengakurasi setiap rasa masakan yang akan disajikan untuk Sang Ratu, biar rasanya tepat seperti kesukaan beliau. Food testing doang berjam-jam, Ferguso! Gimana nggak jadi gondok kacung kampret satu ini! Udah gitu Zane ngobrolnya lama. Kayak lagi seleksi calon bini!

Untung ini acara nikahannya Kak Raline. Kalau orang lain, mungkin Sabrina sudah terbakar emosi.

"Udah, Bosku? Menunya udah oke semua? Udah sesuai sama lidah keraton? Menu subtitusi buat tamu yang alergi juga udah?" Sabrina berusaha tidak terdengar ketus ketika Zane akhirnya menghampirinya yang sudah berasap ubun-ubunnya.

Zane tertawa karena sadar sedang disindir, kemudian segera mengajak perempuan itu undur diri sebelum terjadi pertumpahan darah.

Sepanjang jalan kembali ke kantor, Sabrina cemberut, menolak diajak ngobrol. Bahkan ketika Zane bertanya tentang hasil pengecekannya, jawabannya cuma 'hmm, hmm' doang, membuat Sang Bos jadi bertanya-tanya dosa apa lagikah gerangan yang telah diperbuatnya kali ini.

Sekarang memang sudah lewat jam pulang. Dan rencana Sabrina terlanjur kacau balau. Jelas kalau dia jadi sensi.

"Langsung gue anter pulang aja gimana?" tanya Zane akhirnya, berusaha membujuk.

Sabrina paling kesal kalau nada bicara Zane seperti itu. Seolah-olah lelaki itu sedang berbicara dengan keponakannya yang mogok makan karena tidak boleh mainan HP.

Sabrina melengos, memandang ke luar jendela. Sialnya pemandangan kota tidak pernah menarik. "Mobil gue di kantor keleus."

"Besok gue jemput." Zane keukeuh.

Tapi Sabrina juga keukeuh. "Nggak usah repot, deh."

"Abis muka lo kusut banget gitu."

Gimana nggak kusut, Bambang?! Harusnya revisinya kelar hari ini! Kalau tahu butuh temen ke venue kenapa nggak ngomong dari tadi? Kenapa sukanya mendadak? Padahal kalau ngomong pagi-pagi, nggak semuanya pada ngikut Akmal pergi ke villa. Toh di sana paling cuma duduk-duduk doang kerjaan mereka karena memang sudah beres semua. Dan bisa-bisanya Mbak Iis nggak bilang apa-apa kalau mau minta dibackup kerjaannya!

Bukannya Sabrina perhitungan dan nggak mau bantuin temen. Tapi siapa sih yang nggak kesel kalau rencananya direcokin gitu? Nggak pakai bilang minta tolong, pula.

Dan sekarang, kalau mau lembur pun, moodnya sudah ambyar. Dia juga sudah kangen berat sama Milo yang sudah tiga puluh tiga jam tidak dijumpainya. Kasihan anak balitanya itu dititipin melulu ke tetangga.

"Bos, please, tanpa kengurangi rasa hormat, gimana kalau lo fokus nyetir aja?" ujar Sabrina akhirnya.


~


Mobil Rachel sudah tidak nampak di depan coffe shopnya ketika mereka tiba di pelataran kantor. Aneh. Berangkat bareng, tapi pulangnya ninggal-ninggal! Sebenarnya siapa yang suka sama siapa, sih?

Sabrina mendecak-decakkan lidah, mengikuti Zane masuk ke dalam kantor mereka, tidak mau ambil pusing terhadap urusan romansa orang lain.

Dia sendiri cuma mau mengambil laptop dan paperbag baju kotornya, lalu pulang.

Tapi dia terlalu baik.

Yup, Sabrina memang dilahirkan jadi cewek baik. Karenanya biarpun kesal, dia masih saja punya tata krama dengan mempedulikan nasib Bosnya.

"Gue anter pulang, Bos." Sabrina berdiri bersandar ke kubikelnya, menunggu Zane berjalan mendekat, keluar dari ruangannya. Lelaki itu menenteng backpack di punggung. Tumben-tumbenan. Biasanya dia jarang pulang membawa kerjaan. "Eh, astaga, lupa. Selimut lo gue cuciin sekalian."

Zane menoleh sambil menutup pintu. "Nggak perlu, sih."

"Tebengan atau selimutnya?" Sabrina menautkan alis, nggak ngeh dengan jawaban Zane.

"Selimutnya."

"Lah? Kan bau gue. Nanti lo nggak bisa pakek karena baunya beda."

"Lebay banget sih lo!" Zane mendahului Sabrina menuruni tangga. Sabrina segera mengekorinya dan lampu di lantai tiga otomatis padam ketika mereka menyingkir.

"Mau gue anter pulang tapi? Biar besok lo bisa berangkat bawa mobil sendiri." Sabrina mengulangi tawarannya sambil menunggu Zane mengunci pintu depan.

Zane setuju.

"Tapi lo yang nyetir, kan? Tangan gue pegel abis nenteng papan dada berjam-jam." Sabrina menaikkan alis tinggi-tinggi, ingin menegaskan kalau di mobilnya dialah yang lebih berkuasa.

"Hmm." Zane tidak mau berdebat.

Sabrina mengulurkan remote kunci mobilnya dan segera mendahului berjalan menuju tempat mobilnya terparkir.



... to be continued

Warning: Physical Distancing! [COMPLETED]Where stories live. Discover now