4 | morning, zane!

344K 28.6K 987
                                    




4 | morning, zane!



"SAB ... ?"

Zane terkesiap. Belum lama gadis itu berbaring di sisinya, memeluknya sepanjang malam. Merasakan kulitnya yang hangat menempel di tubuhnya, atau tangannya yang lembut sesekali mengelus-elus perutnya. Merasakan kakinya yang jenjang dan mulus melingkari pinggangnya dengan ketat. Dalam mimpi. Dan sekarang gadis itu sudah ada di hadapannya. Versi nyata. Dengan blus hijau tosca dan bawahan berwarna hitam, celana panjang longgar.

"Ya?" Sabrina menyahut, anehnya terdengar agak kikuk. Bahkan wajah perempuan itu nampak bersemu merah.

Ah, goblok sih. Zane sadar saat ini dirinya cuma pakai boxer brief dan asetnya lumayan terpampang nyata. Jelas saja Sabrina jadi merah padam begitu.

Dan ternyata tampang Sabrina enak dilihat juga kalau diperhatikan dari dekat. Manis, nggak bikin bosen.

"Ngapain lo di sini?" tanyanya kemudian.

Sabrina melotot.

Ah, Zane lupa lagi. Kan dia sendiri yang minta tolong pada gadis itu semalam untuk mendatangi apartemennya kalau dia tidak bangun!

"Nevermind. Kayaknya saya salah apartemen. Saya cabut sekarang. Bye." Sabrina berlagak kesal, bersiap pergi.

Zane segera mencekal pergelangan tangannya sambil tertawa. "Sorry, sorry, gue lupa semalem minta tolong lo buat bangunin ke sini. Emang jam berapa sekarang?"

"Jam tujuh lewat sepuluh."

Nah, sebenarnya jam tidurnya juga tidak kurang. Tapi rasanya masih mengantuk. Dibangunkan paksa memang nggak enak.

"Oke. Gue mandi bentar," ujar lelaki itu akhirnya, bangkit duduk. "Orderin sarapan, ya. Kita sarapan dulu, terus berangkat dari sini. Nggak ada yang perlu diambil di kantor dulu, kan?"

"Enggak. Mau makan apa?"

"Apa aja."

Sabrina masih duduk di pinggir kasurnya, makin kikuk. Zane sadar dan segera melepaskan cekalan tangannya.

Dan tentu saja perempuan itu segera kabur dari kamarnya.

Zane tidak langsung bangkit, duduk diam sambil memperhatikan badannya sendiri. Untung gue nggak jelek. Otot juga di mana-mana. Jadi nggak malu, batinnya.

Ketika Zane selesai mandi, sarapan mereka sudah ada di atas meja ruang tamu. Entah mengapa Sabrina tidak mau repot-repot membawanya ke meja makan.

"Mbak Verial bilang telat sejam. Mampir nganter ibunya ke dokter dulu." Perempuan itu menjelaskan.

Nah, cewek emang selalu seenaknya sendiri. Zane sudah pernah bertemu Verial satu kali saat Bang Faiz memperkenalkan mereka. Selanjutnya semua urusan pernikahan semua dikoordinasikan dengan tunangan Bang Faiz itu. Dan di hari perkenalan mereka, Zane sudah bisa menebak kalau cewek itu tidak akan membuat wedding receptionnya mudah untuk diwujudkan. Tipikal cewek yang perfeksionis dan banyak mau. Maklum, cewek umur dua tujuh di negara ini memang rata-rata sudah pada nikah. Dan bisa jadi di lingkaran pergaulan Mbak Verial ini, sebagian besar temannya sudah menikah, dan dia nggak mau gengsinya turun. Sudah menikah belakangan, resepsinya biasa-biasa aja!

Tapi bagus lah, cewek model begitu adalah tambang emas bagi perusahaannya

"Ya udah sih, nyantai berarti." Zane duduk di sofa terdekat.

"Mau nasi goreng apa sandwich?" tanya Sabrina kemudian, menoleh sekilas.

"Nasi goreng."

Sabrina kemudian berjongkok di depan meja pendek di hadapannya untuk membuka bungkusan kantong plastik nasi goreng dan mengeluarkan kotak isinya.

Zane baru sadar heels perempuan itu sudah berganti dengan salah satu sandal rumahnya. Hmm, cepet banget rumahnya dianggap seperti rumah sendiri. "Nggak mau ambil air putih?" tanyanya.

Sabrina tahu itu perintah, jadi dia segera berlalu ke dapur tanpa protes untuk mengambil dua gelas air putih dingin, serta sendok dan garpu menggantikan sendok plastik yang tersedia di kotak nasi goreng tadi untuk Zane makan.

Kemudian gadis itu duduk di seberangnya dan mulai membuka bungkus sandwich. Zane mengangkat wajah untuk minum, tatapannya tertuju pada blus yang hari ini dikenakan Sabrina. Blus itu longgar dan sebenarnya tidak menerawang. Tapi entah mengapa tetap nampak tembus pandang bagi Zane.

Pasti ukuran branya 32C.

Zane sebenarnya tidak sesinting Gusti yang bisa langsung tahu ukuran bra cewek dengan sekali lihat, dan seringkali akurat. Bahkan dia tidak tertarik menebak-nebak ukuran bra Rachel yang sedang dekat dengannya sekarang. Tapi khusus Sabrina, Zane just can't help it. Bahkan seluruh lekuknya masih terbayang jelas di kepalanya.

Jangankan cuma ukuran bra, Zane bahkan bisa membayangkan bagaimana rasanya jika telapak tangannya menangkup di sana.

Nah, sial! Jangan sampai Sabrina tahu isi kepalanya!

"Sab, kayaknya gue pergi sendiri aja, deh. Lo bisa ambil libur aja hari ini. Thanks udah mau ke sini buat bangunin gue."

Zane tidak yakin dirinya bisa konsentrasi jika Sabrina pergi bersamanya nanti. Bisa-bisa otaknya meledak karena dipenuhi dopamin.

Sabrina menautkan alis. "Lho kenapa mendadak ngerubah rencana?" tanyanya polos.

Zane mendesah dalam hati, berusaha keras membuat raut mukanya tidak terlihat mesum saat ini. "Kan ini baru pertemuan pertama. Paling dia baru ngasih tahu konsep besarnya aja, dia pengennya gimana. Daripada lo gabut di sana, cuma dengerin cewek curhat gimana hecticnya mau nikah. Lagian ini kan weekend. Nggak enak gue kalau ngajak lo lembur terus."

Halaaah, tidak ada sungkan di kamus Zane sebelumnya! Sabrina hampir selalu lembur di hari kerja, meski sebanding dengan gaji, insentif, dan bonus yang diterima.

"Hmm, oke. Apa kata Bos." Gadis itu sepakat.

Begitu Zane selesai makan, Sabrina segera membereskan bekas makanan mereka di meja, lalu beranjak ke dapur untuk mencuci gelas.

"Damn it!"

Zane mendengar Sabrina berteriak.

Dia segera berjalan menghampiri. "Kenapa?"

Dan, oh God! Gadis itu sudah basah kuyup dari perut ke bawah karena tersemprot air dari keran sink.

Zane tidak pernah mencuci piring sama sekali. Dia malah tidak tahu kepala kerannya diputar untuk tekanan tinggi oleh petugas cleaning service yang mengurus apartemennya.

Dan pandangannya tentu otomatis kembali ke pakaian Sabrina yang basah. Memang hanya bagian perutnya saja yang sekarang jadi menempel erat ke kulitnya, sementara air mulai menetes dari ujung celana bahan yang dikenakannya.

"Pakai baju gue. Gue anter lo pulang dulu sebelum pergi meeting." Zane menawarkan diri.

Sabrina menggeleng.

"Pinjemin jaket aja. Nggak usah di anter," ujarnya langsung, pilih aman.



... to be continued

Warning: Physical Distancing! [COMPLETED]Where stories live. Discover now