1 | worst video call ever

757K 37.1K 1.8K
                                    










1 | worst video call ever





"SABRINA, where did you put the file? Katanya di rak? Udah setengah jam gue cari nggak ketemu-ketemu."

He's her boss. Yang suka nelepon nggak peduli waktu.

Malam ini Sabrina sudah lembur dan dia baru saja tiba di rumahnya ketika teleponnya berdering tiada henti.

Damn it!

Lelaki itu memang tidak pernah becus mencari barang, serapi apapun stafnya menempatkan barang itu di kantor atau bahkan di ruangannya sendiri yang nggak seberapa besar. Seperti misalnya print out sample catalog terbaru paket wedding perusahaan mereka yang jelas-jelas tadi ia letakkan di tempat yang paling mudah ditemukan, di rak arsip yang sekali lihat saja pasti langsung ketemu karena bagian pangkal mapnya sudah ia beri label. Itupun tadi terpaksa dia letakkan di sana karena meja sang bos sedang penuh dan berantakan, yang pastinya akan lebih sulit dicari.

Namanya Zane Abram, baru dua tahun lulus kuliah. Umurnya hmm ... dua puluh tiga tahun, kurang lebih. Perawakannya mirip Shawn Mendes di iklan Calvin Klein. Hahaha. Lebay, sih. Dia nggak sekeren itu. Persetan dengan tampang dan bodinya. Dia sangat menyebalkan, layaknya mayoritas populasi laki-laki seumurnya di muka bumi ini, at least yang pernah Sabrina kenal atau sekedar temui di kampus atau di lingkungan pergaulannya. Menganggap dirinya superior, mentang-mentang di umur segitu sudah bisa merintis usaha sendiri.

"It's not gonna work. Coba alihkan ke video call aja, Bos," ujar Sabrina akhirnya, seraya menempelkan ponselnya ke cermin di meja rias. Terserah kalau Bosnya terpaksa melihatnya sedang menghapus make up. Ini sudah bukan jam kerja. Dia bebas melakukan rutinitasnya. Toh sejujurnya hubungan mereka di kantor juga nggak formal-formal amat, sih. Malah Sabrina merasa nggak ada bedanya suasana kerja di kantor dengan ketika dia masih menjadi anggota BEM di fakultasnya dulu. Karena usaha mereka bergerak di bidang jasa, event organizer, jadi serasa seperti anggota BEM yang sedang menyiapkan event kampus. Santai, tapi serius, dibayar luyamayan pula—bukan sekedar nasi kotak, kaos panitia, dan ucapan terima kasih dari Pak Dekan seperti zaman dahulu kala.

Tak lama kemudian, panggilan mereka telah dialihkan menjadi panggilan video. Wajah Zane, sang bos muda yang nampak lebih tua dibanding umur sebenarnya karena gampang stress dan doyan marah-marah muncul memenuhi layarnya. Setting tempat di belakang punggung bosnya menunjukkan bahwa pria itu telah berada di tempat yang tepat. Berarti memang matanya saja yang sliwer.

"Coba arahin kameranya ke rak, biar kelihatan di mana tadi naruh mapnya," ujar Sabrina lagi, sambil mengikat rambut sekaligus menempelkan kapas basah ke salah satu kelopak matanya, menekan-nekannya dengan lembut. Karena sebagian make up matanya mulai luntur, sekarang penampakan wajahnya jadi persis seperti zombie.

Zane menurut tanpa mengucap sepatah katapun. Jelas sudah terlalu lelah.

"Di rak paling kiri." Sabrina memberi instruksi, dan ponsel si Bos segera berpindah ke deretan rak yang dia maksud. "Nomor dua dari atas."

Innalillahi! Itu mapnya jelas terlihat.

Sabrina hanya bisa mengelus dada. "Map yang warna biru, Pak Bos Terhormat. Kan tadi—"

Suara benda pecah membuat Sabrina terkesiap. Pasti si Milo, anak anjingnya yang menjatuhkan perabot. Segera ditinggalkannya kamarnya setelah permisi pada sang Bos dan langsung menuju tempat asal suara. Dan benar saja, salah satu vas bunga jatuh dari meja.

Ah, saking sibuknya dia bahkan belum sempat melatih Milo untuk tidak naik-naik ke atas meja.

Anjing kesayangan langsung berlari ke pelukannya.

Warning: Physical Distancing! [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang