64 | jeff × ibel (?)

168K 22.6K 1.7K
                                    




64 | jeff × ibel (?)



ZANE menoleh, dan Sabrina masih saja belum mengalihkan pandangan dari jendela sejak mereka meninggalkan halaman hotel beberapa puluh menit yang lalu.

Sudah bertahun-tahun Zane tidak berurusan dengan cewek ngambek. Walau menyebalkan, ternyata dia bisa merindukannya juga.

Cewek-cewek itu ngambek karena ada ekspektasi yang tidak terpenuhi, kan? Artinya mereka sungguh-sungguh menaruh harapan? Ya meskipun tidak semua harapan harus dikabulkan.

Zane menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Jujur, dia tidak tahu ekspektasi apa dari perempuan di sampingnya ini yang tidak bisa dia penuhi. Bukan karena Zane terlalu percaya diri, tapi karena memang tidak ada petunjuk sama sekali.

Semalam mereka masih baik-baik saja. Makan malam bersama di rumah Sabrina seperti biasa. Dan bahkan perempuan itu masih bergelayut manja di lengannya, mengeluh sakit punggung dan Zane jadi terpaksa belajar massage lewat YouTube hanya untuk membantunya.

"Boleh tahu nggak, dari tadi gue didiemin karena apa?" Zane bertanya pelan.

Ngobrol dengan Sabrina, Zane jadi merasa memiliki kepribadian ganda. Karena nada bicaranya jelas tidak sekalem itu saat sedang bersama orang lain.

Sabrina tidak menyahut.

Mukanya hampir datar, dengan sedikit sorot sinis di matanya.

Oke. Zane harus menebak sendiri.

Menyebalkan sekaligus menggemaskan.

Jatuh cinta memang aneh. Zane jadi merasa tolol.

Dia lalu mengulurkan tangan untuk menggenggam satu tangan Sabrina yang mengepal di pangkuannya. Dia usap lembut punggung tangan itu dengan ibu jari.

"Padahal kalau memang ada masalah, jauh lebih gampang diselesaikan kalau sama-sama terbuka." Zane menggumam pelan, mencoba membujuk.

Tapi karena perempuan itu tidak juga menyahut, dia pilih mengalah dulu saja. Sabrina doyan ngobrol. Dia jelas tidak akan tahan diam berlama-lama.

Zane mengecup lembut punggung tangan di genggamannya. "Karena udah hampir sampe, cemberutnya dilanjut nanti dulu, ya."

Zane lalu memarkir mobil—yang Sabrina tidak tahu didapat dari mana—di halaman sebuah rumah tanpa pagar.

Rumahnya tidak terlalu besar, dengan halaman luas. Beberapa pohon besar yang Sabrina tidak tahu namanya tumbuh di sana.

Sabrina akhirnya menoleh, karena tidak ingin terjebak di situasi konyol.

"Ini rumah siapa?" tanyanya, agak kesal karena Zane dari tadi tidak menjelaskan mereka akan ke mana, meskipun dirinya memang tidak bertanya.

"Rumah nyokap gue."

Zane lalu bersiap turun.

Sabrina melongo.


~


Zane sudah sempat khawatir, tapi ternyata Sabrina bersikap kooperatif.

Perempuan itu langsung pasang muka manis saat mereka berjalan memasuki rumah dan menyapa Mamanya yang sedang sibuk di dapur.

Zane jarang mengunjungi Mamanya, dan Jeff nampaknya juga sama saja, mengingat betapa Abangnya itu luar biasa sok sibuk. Sementara Mamanya sendiri juga sulit mengambil cuti panjang karena beliau berprofesi sebagai pengajar di salah satu kampus dekat situ—yang kebetulan major-nya sama dengan Sabrina. Ekonomi.

Karenanya, mumpung sedang berkumpul, Mama mengajak kedua anaknya makan malam bersama, yang kesempatannya dalam setahun bisa dihitung jari. Sekalian saja Zane membawa Sabrina, daripada dia sakit telinga, diganggu teman-temannya.

Dan untungnya pula, karena Sabrina juga jago memasak, dua perempuan itu jadi langsung nyambung seperti teman lama. Zane tertawa puas melihat keduanya bahu-membahu membuat kacau dapur.

Mereka jadi terlihat begitu mirip satu sama lain.

Dan Zane jadi tersentak. Apa karena itu, dia jadi tergila-gila pada si Jablay Sabrina? Karena perempuan itu banyak miripnya dengan sang Mama yang sudah bertahun-tahun LDR dengannya.

"Kok nggak bareng Abang sekalian, Zane?" Mamanya menoleh setelah memasukkan loyang berisi ayam utuh ke dalam oven.

Sabrina ikut menoleh, sambil mengibas-kibaskan celemeknya yang kotor kena tepung.

Sabrina yang menyebalkan dan nggak ada duanya.

Kalau bisa, Zane ingin mendahului Abangnya yang masih betah melajang, dan menikahinya sekarang juga, sebelum perempuan itu bisa berpaling ke yang lain.

Zane meletakkan gelas air putihnya ke sink. "Nggak ketemu tadi di hotel. Nggak bisa dihubungi juga. Ngumpul dulu sama temen-temennya kali."

Mama manggut-manggut, kemudian melepas celemeknya dan mengajak Sabrina pindah ke ruang tengah untuk mengobrol.

"Itu tasnya Sabrina dipindah ke kamar dong, Zane. Di sini bau makanan!" seru mamanya sebelum berlalu.

Zane bangkit dari bar stool tempatnya duduk.

"Terserah deh kamu mau ngungsi di kamar Abang apa gimana." Mamanya melanjutkan.

Sabrina menoleh padanya.

Dan Zane hanya sempat mesem sekilas sebelum menyahut. "Nggak perlu lah. Paling Jeff bawa ceweknya juga."


~


Makan malam mereka sudah siap di meja pukul enam sore, bahkan saat di luar masih terang benderang.

Zane sudah mandi duluan, sementara Sabrina dan Mamanya masih asyik ngerumpi seolah hanya ada mereka berdua di rumah.

Zane yang merasa diabaikan, sampai Jeff tiba beberapa puluh menit kemudian.

Seorang diri.

Alis Zane kontan bertaut.

Kemarin-kemarin Abangnya itu mengatakan padanya untuk tenang-tenang saja, dan meyakinkan kalau dirinya akan segera mendapatkan calon istri.

Sesusah itu kah mencari cewek yang tepat?

Memang sih, makin tua, makin sukses, makin susah juga seleranya.

Zane lalu mengenalkan Sabrina.

"Wait ...." Jeff menahan tangan Sabrina yang sedang menyalaminya. "Tanjung? Pantes kayak familier. Saudaranya Isabelle?"

Alis Sabrina bertaut, lalu menoleh pada Zane sekilas.

"Iya, adiknya. Abang kenal kakak saya dari mana?" Sabrina nampak takjub. "Nggak nyangka ternyata Ibel famous juga."

Jeff geleng-geleng kepala.

"Jakarta sempit, sih."



... to be continued


Warning: Physical Distancing! [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang