73 | pengeluaran tak terduga

178K 19.6K 595
                                    




73 | pengeluaran tak terduga



SABRINA tiba di kantor dengan mata merah karena kurang tidur, gara-gara teman-teman Zane berisik hingga pagi, dan biarpun sudah menyumpal telinga dengan bantal, dia tetap tidak bisa tidur.

Sialnya lagi, mereka belum pulang juga hingga dia bangun tadi pahamilgi, dan malah menawarkan diri untuk menumpang sarapan sekalian—termasuk Bimo.

For God's sake, sejak kapan Bimo jadi sekasta dengan yang lain, ikut-ikutan numpang makan di rumah orang?

Sudah begitu, pokok pembahasan sepanjang waktu sarapan adalah betapa liciknya Sabrina, menggunakan mantan untuk memanas-manasi Zane! What the hell! Bisa-bisanya malah Sabrina yang dijadikan bulan-bulanan, bukan Zane!

Paling banter, sang tuan rumah hanya diprotes karena sudah jadian setahun, tapi nggak bilang-bilang! Setahun yang lalu, yang ada Sabrina masih kelimpunan ngejar-ngejar dosen pembimbing, mana sempat pacaran?!

Ckckck.

Kalau nggak ingat credit card Zane masih nangkring cantik di dompetnya, sudah pasti dia jewer itu cowok di depan yang lain! Dan sudah pasti dia jelaskan seluruh kebenarannya pada mereka.

"Lesu amat, Buk. Hari gajian, nih." Juned dengan tampang brengsek dan sok cakepnya langsung menyambut di pagi yang tidak cerah itu, di lobby kantor. "Apa jangan-jangan gaji lo minus, kepotong ama utang credit card?"

Sabrina mendengus. "Sotoy!"

Karen, yang pagi-pagi sudah ada di pantry, langsung melongokkan kepala begitu mendengar suara temannya.

"Kenape lo? Diputus ama si Bos? Baru juga jadian!"

Sabrina hanya menghela napas, menjatuhkan diri di sofa. Tidak ingin menanggapi. Sudah lelah diceng-cengin. "Hari ini ada agenda penting nggak, sih? Nggak enak badan gue."

"Kan nanti lo ketemuan sama klien." Karen menyahut dari dalam pantry, diiringi suara air mengalir dari dispenser.

Sabrina berpikir sejenak. Weddingnya Faiz-Verial masih minggu depan, dan sebenarnya persiapannya sudah beres. Minggu ini dia hanya perlu mempersiapkan briefing tim, dan tentu saja beberapa kali pertemuan dengan sang klien. "Sumpah, hari ini?"

"Iya, kan?"

Sabrina segera membuka kalender di ponselnya.

Memang benar, di memo hari ini ada pertemuan dengan Bimo.

"Njay." Perempuan itu speechless.

"Kenape, sih? Paling Bimo lagi kan, yang ngewakilin?" Karen keluar dengan sepiring brownies dan segelas air putih, menawarkannya pada teman-teman, yang tumben-tumbenan pada nolak, lalu berjalan ke front desk, dan duduk di sana.

Hari ini dia yang menggantikan Timothy.

Sabrina menelan ludah sambil mematikan kembali layar ponselnya, meyandarkan kepalanya ke sandaran sofa. Lunglai.

Justru karena Bimo yang mewakili, dia jadi makin tidak bersemangat.

Dia masih merasa tidak enak hati karena motifnya membawa Bimo ke rumah Zane dulu ketahuan—ya meskipun cerita yang beredar tidak seratus persen benar.

Dan meskipun saat di rumah Zane tadi, lelaki itu nampak biasa saja, tapi isi hati orang siapa yang tahu? Kalau Sabrina jadi dia, sudah pasti merasa kesal sekali. Apalagi dengar-dengar, lelaki itu sempat ingin mengajak balikan. Hiks. Kenapa Sabrina tidak peka sekali, sih?

Sekarang dia jadi sedikit merasa bersalah.

Pantas saja Zane menyembunyikannya dari teman-temannya. Jelas-jelas tahu temannya masih berharap, Sabrina tetap digasak juga!

"Kalo lo mager berangkat sendirian, ajakin Mbak Iis noh! Kasian dia di atas sendirian."

Sabrina melotot. "Ogah!" serunya dengan suara berbisik, takut yang namanya disebut-sebut mendengarnya, kalau ternyata orangnya sudah tiba.

Berangkat dengan Mbak Iis, sudah pasti bakal lebih ribet dan lebih lama, meski kemungkinan ngobrol masalah pribadi dengan Bimo bisa hilang seratus persen.

Tapi tetap nggak sebanding, lah.

Mending dia pergi sendiri ke mana-mana!

Lalu Akmal muncul dan langsung duduk di sebelah Sabrina.

Sabrina berbinar-binar. Serasa ketemu dewa penolong.

"Mal, nanti siang temenin gue ketemu klien, yuk?"

Sabrina bergelayut manja ke lengannya, sebelum akhirnya tubuhnya didorong menjauh.

"Apaan sih, Sab? Jangan nempel-nempel dong. Masih pagi nih, gerah."

"Hiks. Jahaaat ...." Sabrina cemberut, merasa ditolak mentah-mentah. "Nggak inget, pas awal-awal kerja di sini, yang mau nemenin lo gue doang?"

"Nggak kebalik? Elo yang ngerasa terintimidasi ama Karen-Timothy, jadi cuma berani ngedeketin gue karena kita temen seangkatan?"

Sabrina manyun.

Dia sendiri sudah tidak ingat kejadian sebenarnya. Meski memang benar, dulu Karen dan Timothy menyebalkan sekali, sok eksklusif, sementara Mbak Iis juga nggak asyik karena terlalu serius dan menjaga wibawa.

"Kepala gue sakit, nih, Mal. Semalem nggak bisa tidur." Akhirnya Sabrina ngeles, tapi nggak bohong.

"Iya tapi nggak perlu nempel-nempel juga, kali." Akmal meluruskan posisi duduk Sabrina, lalu dengan enggan mulai memijat belakang lehernya. "Ketemu klien yang mana, sih? Repot gue kayaknya siang ini."

Sebelum Sabrina sempat menjawab, ponsel di tangannya berkedip-kedip.

Pesan masuk.

Dari kakaknya.

Segera dia baca.


Ibel
Ntar malem kosongin jadwal.
Makan sama gue.

Sabrina
Sama doi lo?

Ibel
Yup.

Sabrina
Ok.


Lalu dia menoleh ke Karen yang kepalanya menghilang di balik monitor pc front desk.

"Beb, pulang kantor nyalon yuk? Gue mau dikenalin ke calon ipar, nih. Biar rada presentable dikit."

"Buseeet, baru gajian udah mau diabisin aja?" Akmal berdecak-decak. "Mentang-mentang kalo tanggal tua udah ada yang bisa diporotin!"



... to be continued



Warning: Physical Distancing! [COMPLETED]Where stories live. Discover now