8 | mak lampir selalu menang

251K 21.7K 191
                                    




8 | mak lampir selalu menang



SELESAI istirahat makan siang, Gusti dan Mbak Iis pergi lagi. Kali ini bersama Akmal ke venue untuk projectnya Akmal. Fun gathering salah satu keluarga konglomerat. Cuma pesta kebun kecil-kecilan di villa dengan fun games beberapa wahana outbond. Tapi yang namanya kecil-kecilan bagi mereka jelas nggak kecil bagi kacung sekelas Sabrina dan yang lain-lain. Sewa villanya saja sudah delapan digit, belum yang lain-lain seperti kaos seragam, katering, dekorasi, dan goodie bag serta seisinya untuk mereka bawa pulang.

Zane sibuk di ruangannya. Sok-sokan mengutak-atik web perusahaan yang katanya kurang user friendly. Timothy terpaksa stand by sendirian di lantai satu karena sejak tadi siang banyak klien datang. Sedangkan Jun yang acaranya diundur langsung sibuk menyesuaikan konsep lagi, duduk di kubikelnya di lantai dua.

Sabrina, dan Karen juga sibuk di meja masing-masing di lantai tiga ketika mendengar suara Rachel, owner coffee shop sebelah yang tahu-tahu sudah ada di pangkal tangga.

"Zane ada?" tanya cewek cantik itu, sambil menenteng cup holder.

Tidak perlu munafik, Rachel ini memang masuk kategori cantik untuk standar cewek pada umumnya. Badan langsing, tinggi semampai, muka imut dan enerjik, rambut bagus, selalu fashionable. Minusnya cuma suka cari perhatian aja. Bikin cewek-cewek lain jadi jijay.

Karena ada dua cup kopi yang dia bawa, sudah pasti dia berniat mengajak Zane ghibah sampai sore.

Mereka berdua selalu begitu. Kalau sudah ngobrol nggak ingat waktu. Ujung-ujungnya Zane jadi lembur sampai tengah malam, bahkan sampai besok pagi. Terus karena kurang tidur, biasanya moodnya jadi jelek dan berimbas ke karyawan-karyawannya yang tidak berdosa. Dikit-dikit nyinyir.

"Udah bikin janji?" Karen memutar bola mata. Sabrina tahu dalam hati cewek itu mengutuk Timothy yang membiarkan mak lampir ini masuk. "Zane tuh kerja, bukan lagi main. Nggak bisa seenaknya diganggu, diajak ngobrol berjam-jam!"

"Cuma mau ngasih kopi, kok." Rachel tidak terdengar tersinggung sama sekali. Kupingnya memang sudah kebal, karena sebenarnya dia dan Karen satu tipe. Bedanya cuma Karen nggak pernah bicara dengan logat dimanis-maniskan, dan nggak pernah sok imut. Setidaknya di kantor. Nggak tahu kalau di luar.

"Ya udah, taruh aja sih. Nanti kalau dia keluar gue kasih tau kalau lo ke sini nganter kopi."

"Nanti keburu dingin."

"Emang doi bakal langsung minum panas-panas begitu?"

Wuih, Sabrina langsung menunduk dalam-dalam di kubikelnya. Menyembunyikan diri supaya nggak ikut terseret dalam adu tajam-tajaman mulut kedua cewek badass itu.

Dibanding mereka berdua mah, Sabrina cuma kentang.

"Ada apaan, nih, bawa-bawa nama gue?"

Pintu ruangan Zane terbuka, dan cowok itu sudah melongokkan kepala ke luar dengan alis bertaut. Kacamata berbingkai hitam tipis nangkring di atas kepala, di antara rambutnya yang acak-acakan. Zane jarang berkacamata di luar. Dia hanya akan memakainya kalau terpaksa harus bekerja memelototi layar PC berjam-jam.

Sabrina, Karen, dan Rachel menoleh. Cuma Rachel yang jadi semringah melihatnya, dan langsung sok manis. "Pasti jam segini lagi ngantuk-ngantuknya. Gue bawain kopi," katanya.

"Masuk, deh."

Zane malah mempersilakan. Tentu Rachel segera mengangguk dan berjalan cepat ke ruangannya, sambil masih sempat-sempatnya melempar senyum sinis ke Karen.

Karen mendengus keras, pengen menendang meja tapi sayang kaki dan sepatunya yang mahal.

"Percuma, Beb. Biar maksud lo baik―biar Zane nggak keganggu dan kerjaan dia cepet kelar―kalo dianya suka ya tetep nggak bakal mempan. Lagi jadi budak hornon dia tuh. Mau kerjaan numpuk-numpuk juga dia rela begadang demi bisa ngobrol sama pujaan hati seharian."

"Goblok emang. Goblok kok dipelihara!"

"Sst. Jangan kenceng-kenceng."

"Bete gue."

"Sabaaar. Kacung kayak kita gini emang dibayar untuk bersabar."

Karena konsentrasinya sudah terlanjur buyar, akhirnya Karen bangkit dari kursinya. "Masih belum kelar bahan lo buat presentasi besok?"

Sabrina melirik sekilas layar PCnya sebelum kembali menatap Karen. Prediksinya meski malam ini dia nggak tidur dan lembur sampai pagi, belum tentu akan selesai dan bisa dirapatkan besok pagi. "Dikit lagi. Kenapa?"

"Gue mau turun bentar nyari cemilan. Mau nitip?"

"Yang gratis. Kripik singkong di pantry aja."

"Wokee."



... to be continued


Warning: Physical Distancing! [COMPLETED]Where stories live. Discover now