22 | berlian ketelen milo

191K 20.8K 851
                                    




22 | berlian ketelen milo



ZANE mendengus pelan di tempat duduknya.

Sekarang bukan cuma tangan Sabrina yang dipegang-pegang Akmal, tapi bahunya juga dirangkul-rangkul!

Zane menoleh ke Gusti. Nah kan, itu anak juga udah mupeng ngelihat Sabrina yang siang ini memang kelihatan lebih menggoda dibanding Duren Montong! Ini pada lupa kalau lagi ada di kantor apa gimana? Kenapa semua jadi pada bejat begini, berperilaku tidak senonoh pada jam kerja! Sial benar dia punya staf macam mereka!

Ini lagi si Karen dan Timothy, punya temen keabisan obat malah dibiarin aja sarapnya kumat!

Zane meremas lengan sofa di bawah tangannya. Ingin hati memecat semua stafnya, kecuali Iis dan Junaedi yang masih waras, tapi dia tahan-tahan. Mager kalau harus nyari karyawan baru lagi. Terutama di timnya yang sekarang tidak ada lulusan psikologi. Jadi susah kalau mau recruitment karyawan baru.

Get a grip, Zane! ujar Zane dalam hati. Di sini kan elo yang jadi bosnya. Masa nggak bisa ngeboikot si Akmal sama Agus, biar mereka nggak punya akses untuk ngelihatin apalagi pegang-pegang aset perusahaannya?


~


Setelah jam makan siang, Sabrina kembali ke ruangan Zane untuk menunjukkan hasil revisi finalnya. Memang tadi dia sengaja mewanti-wanti stafnya itu agar hari ini hasil pekerjaannya sudah bisa dikirim ke Verial untuk dipertimbangkan. Paling nggak, mulai hari Senin, secara bertahap Sabrina sudah bisa mendapat keputusan nama designer pakaian yang harus dihubungi, design undangan yang harus dipesan, souvernir, dan lain-lain.

Perempuan itu menutup pintu dan segera menghampirinya. Kali ini dia pilih duduk di seberang meja, bukan menggeser kursi menempel ke sebelahnya lagi. Mungkin mood untuk mengganggunya sudah hilang. Rata-rata cewek memang moody, kan?

Sabrina lalu mengangsurkan flashdisknya, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Sekarang penampilannya sudah normal. Setelah lipstiknya luntur akibat dipakai makan siang tadi, dia tidak memoles bibirnya dengan lipstik merah lagi. Kancing kemejanya juga sudah terpasang dengan semestinya, hanya menyisakan dua buah teratas. Rambutnya diikat ekor kuda biar nggak gerah. Sepertinya complainnya tentang penyejuk ruang tadi pagi memang tidak dibuat-buat. Tadi dia sempat berhenti sebentar di dekat kubikel Sabrina, dan penyejuk ruangan yang terpasang di dekat tempat duduk Karen memang tidak terasa. Setelah pandemi beres dan kehidupan di kantornya kembali berjalan normal, dia harus mempertimbangkan untuk memasang satu unit lagi, sebelum para stafnya kabur ke perusahaan lain yang lebih memperhatikan kesejahteraan mereka.

"Oke, lumayan." Zane berkomentar pendek setelah melihat sekilas file yang sudah direvisi, sesuai dengan realita, karena jelas hasil kerja Sabrina tidak sesempurna ekspektasinya. "Sementara Akmal bakal bantu-bantu lo dulu, sebelum dia dapet project baru. Ya biarpun gue yakin lo mampu ngerjain semuanya sendiri."

Sabrina hanya mengangguk singkat. Setelah menimbang-nimbang sesaat dan merasa yakin, Zane mulai mengarahkan pembicaraan ke topik yang sudah sejak tadi berputar di kepalanya. Agak sinting, memang. Dan nekat. Bahkan jauh di dalam kepalanya, Zane heran sendiri pada level kesintingan idenya ini.

"Biarpun nggak ada yang mantau kerjaan lo secara live, yang serius ngerjainnya! Sumber pemasukan terdekat kita project lo doang, nih!" ujarnya dengan nada naik setengah oktaf. Mukanya juga jadi songong. Zane memang paling ahli dalam hal memasang tampang songong.

Meski Sabrina manggut-manggut, jelas terlihat kalau perempuan itu mulai tidak senang dibuatnya. "Emang gue ada tampang nggak bertanggung jawab apa? Mentang-mentang nggak diawasin, terus gue nggak kerja? Apa perlu kita video conference delapan jam sehari? Sesuai jam kerja?" Perempuan itu melawan dengan tak kalah tajam, meski memakai nada rendah.

Good. Sabrina memberikan feedback sesuai harapan Zane.

"Ya kali!" Zane memutar bola mata, menunggu reaksi Sabrina selanjutnya. Tapi yang ditunggu-tunggu malah pasif, tidak terlihat ingin menyerang balik. Mungkin umpannya nggak nyampe karena Sabrina memang terlahir nggak peka. "Lo karantina di tempat gue aja lah!"

Fiuh! Lega sekaligus merasa bego karena tidak bisa memberi alasan yang lebih rasional. Zane hanya bisa berdoa semoga Sabrina tidak menganggapnya overlap.

Bos sih bos, tapi urusanya kan cuma sebatas target kerja. Mana boleh dia melanggar hak asasi karyawannya begitu!

"Ha? Apaan, sih!" Sabrina melongo. Terlihat lebih dominan heran dibanding tidak terima.

Gotcha! Zane langsung merasa mendapat signal positif.

"Biar gampang gue ngawasin kerjaan lo."

"Video conference kan bisa."

Damn video conference!

"Nggak lega ngomelin lo lewat video."

Sabrina ganti memutar bola matanya. Nggak paham dengan jalan pikiran bosnya. "Ribet amat, sih!"

"Ini duitnya gede, Sab. Jangan sampe kerjaan lo nggak beres! Lo mau temen-temen lo nggak bisa makan?"

Sa ae lu, Zane!

Zane geli sendiri mendengar argumen-argumennya yang sekelas sinetron lokal.

Zane menunggu sahutan Sabrina lagi, yang sekarang mulai nampak berpikir keras.

"Ngaku, deh. Bilang aja lo butuh tukang masak, iya kan? Resto di tempat lo pada tutup, Bos?"

Astaga! Ini anak extraordinary banget sih, otaknya!

Zane ikut mengalir mengikuti arus yang diciptakan Sabrina saja pada akhirnya. "Sampe hari ini masih ada, sih, satu-dua yang buka. Tapi masa gue makan junk food terus tiap hari?"

"Masakin doang sih gampang. Toh gue juga butuh makan. Ada yang mau ngover biaya makan gue, sih, malah untung di gue." Sabrina meringis. Zane makin heran—dan jadi agak-agak illfeeldengan pola pikirnya. "Tapi nanti dua minggu di tempat lo, masa nggak bersih-bersih rumah? Jangan bilang lo bakal nyuruh gue juga?! Terus laundry tempat lo masih buka, nggak?"

"Unfortunately, udah tutup semua. Tapi gampang lah, ada Junaedi."

"Kok Junaedi? Kita karantina bertiga?"

Earth to Zane! Jadi dari tadi ini perempuan mengira mereka bakal tinggal berdua? For God's sake! Dan dia malah lebih khawatir dijadiin babu dibanding ngebayangin tinggal berdua saja dengan dirinya? Tahu gitu Zane nggak bawa-bawa Junaedi! Ini bisa direplay nggak, sih, negosiasinya? God, please!

Fuck Junaedi!

"Ya kali berdua!" Zane akhirnya pasrah, merasakan euforia di dada sekaligus nyesek juga. Masih ada Junaedi di antara dia dan Sabrina. Apa perlu dia kirim itu orang sebagai delegasi kemanusiaan dari perusahaannya untuk jadi relawan Covid-19? Biar nggak usah balik sekalian?

Sabrina meringis. "Fine."

Damn!

Nyesek banget, Tuhan! Rasanya kayak habis nemu berlian di pinggir jalan, belum selesai histerisnya sudah ketelen duluan sama Milonya Sabrina. Cuma bisa berharap itu berlian segera keluar lagi bareng poopnya.

"Nanti sore gue jemput di tempat lo, sekalian nyetok bahan makanan abis itu. Mobil lo titipin ke bengkel deket rumah lo aja biar nggak ngerepotin."

"Nasib puppy gue gimana?"

"Ya dibawa, lah!"

"Ashiaap. Btw anak-anak yang lain nggak sekalian karantina di tempat lo aja? Biar lebih gampang koordinasi?"

"Lo pikir rumah gue panti asuhan?"



... to be continued



Warning: Physical Distancing! [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang